Baghdad (ANTARA News) - Para pembom bunuh diri menewaskan 46 orang di Irak, Ahad, dalam dua serangan terpisah yang ditujukan terhadap milisi anti-Al Qaida yang merupakan hari paling berdarah di negara itu dalam lebih dari dua bulan, kata sumber-sumber keamanan.
Persis sebelah barat Baghdad, seorang pembom bunuh diri meledakkan bom yang dibawanya ketika milisi anti-Al Qaida berkumpul di kantor militer untuk menerima gaji mereka, menewaskan 43 orang dan mencederai 40 lainnya, kata kementerian pertahanan dan kementerian dalam negeri.
Al Balassim, bagian dari distrik Radwaniyah yang dihuni mayoritas warga Sunni, adalah bekas daerah rawan pemberontakan 25km dari ibu kota Irak, Baghdad.
Dekat perbatasan Suriah, serangan bom kedua di satu kantor milisi anti-Al Qaida di kota Al-Qaim, menewaskan tiga orang dan mencederai enam lainnya, kata polisi.
Sebagian besar korban tewas dalam dua serangan itu adalah para pejuang Sahwa (Kebangkitan), anggota satuan milisi Sunni, juga dikenal sebagai "Putra Irak", dengan dukungan Amerika Serikat mengangkat senjata melawan Al Qaida akhir tahun 2006.
Pasukan itu, yang direkrut dari kalangan suku dan mantan pemberontak, dipercaya mengatur perlawanan terhadap Al Qaida di Irak.
Kekuasaan Shawa berakhir di Irak Oktober 2008, dan gaji mereka-- yang kabarnya dikurangi dari 300 dolar semasa dipimpin AS menjadi 100 dolar--sering terlambat dibayar oleh pemerintah.
Baghdad berjanji akan menggabungkan sekitar 20 persen milisi Sahwa ke pasukan polisi dan tentara dan mencarikan pekerjaan di kantor-kantor sipil untuk yang lainnya, tetapi proses itu berjalan lambat dan penuh risiko.
Dalam enam bulan terakhir banyak pejuang Sahwa dan para anggota mereka dibunuh dalam serangan balas dendam.
Serangan Ahad itu adalah aksi paling banyak menelan korban jiwa di Irak sejak 10 Mei ketika tiga bom mobil menghantam sebuah pabrik di Hilla, selatan Baghdad, disusul dengan target ke empat adalah para pekerja , menewaskan 53 orang.
Para pejabat AS dan Irak memperingatkan akan bahaya-bahaya munculnya aksi kekerasan jika perundingan pembentukan satu pemerintah koalisi baru berlarut-larut, yang memberikan kelompok-kelompok perlawanan kesempatan untuk mengacaukan lebih jauh negara itu.
Lebih dari empat bulan setelah pemilu 7 Maret yang tidak menghasilkan satu partaipun memiliki suara mayoritas di parlemen belum ada kata sepakat siapa yang menjadi perdana menteri kelak.
Baik mantan perdana menteri Iyad Allawi dan maupun perdana menteri Nuri Al Maliki menegaskan bahwa mereka adalah tempat terbaik untuk menangani ketidak-amanan dan pelayanan publik yang rusak negara yang porak poranda akibat perang itu.
Kini ada 74.000 tentara AS di Irak tetapi jumlah ini akan berkurang menjadi 50.000 personel 31 Agustus ketika pasukan tempur ditarik, menjelang penarikan seluruh serdadu AS Desember 2011.(H-RN/Z002)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010