Bedugul, Tabanan (ANTARA News) - Ahli ekologi hutan Dr Douglas Sheil menyatakan bahwa pembahasan masalah konservasi tidak harus dalam bentuk kawasan lindung.
"Karena faktanya banyak kegiatan masyarakat yang melestarikan satwa atau alam di luar kawasan konservasi," katanya pada lokakarya media mengenai laporan tentang keanekaragaman hayati di Kebun Raya Bedugul, di kawasan Candi Kuning, Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali, kemarin.
Kegiatan yang digagas Pusat Penelitian Kehutanan Antarbangsa (CIFOR) itu diadakan menjelang pertemuan rutin tahunan ATBC (Association for Tropical and Conservation) di Bali pada 19-23 Juli 2010.
ATBC merupakan organisasi profesi terbesar dan tertua di dunia dalam hal biologi dan pelestarian alam tropika.
Organisasi itu telah melakukan pertemuan tahunan rutin sejak tahun 1963, terutama di negara tropis, dan pada tahun 2010 Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya dengan penanggung jawab kegiatan LIPI dan Universitas Indonesia.
Menurut Douglas Sheil --yang sebelumnya peneliti CIFOR--belum tentu dengan diformalkan kawasan lindung betul-betul terlindungi.
Ia mengatakan bahwa dalam banyak kasus secara formal suatu area tidak masuk dalam kawasan lindung, tetapi dijaga masyarakat karena nilai konservasinya tinggi.
Pada kesempatan itu, ia juga mengajukan pertanyaan mengapa konservasi harus dilakukan, yakni apakah karena bermanfaat atau karena banyak keanekaragaman hayati yang terancam punah.
Menurut dia, hal paling mendasar dari apapun faktor penyebabnya, konservasi keanekaragaman hayati memang sangat dibutuhkan manusia.
Ia memberi contoh bahwa semua makanan berasal dari keanekaragaman hayati.
Sementara itu, ahli taksonomi tumbuhan LIPIB Dr Teguh Triono, SP, MSc menjelaskan bahwa diperlukan sebuah protokol internasional, khususna mengenai pembagian keuntungan dari mana keanekaragaman hayati itu berasal.
"Dengan adanya protokol internasional itu diatur perjanjiannya," katanya.
Ia mengemukakan banyak pihak berkepentingan atas kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dan berkeinginan melakukan berbagai cara untuk mengambilnya.
"Hal ini sudah kejadian, seperti meminta tolong mahasiswa, membayar orang, perusahaan farmasi, lembaga penelitian asing, mereka butuh keanekaragaman hayati, baik hewan, tumbuhan maupun mikroba," katanya.
Dengan adanya protokol itu, kata dia, diatur perjanjiannya, yakni bisa mengambil asal dipenuhi kriteria minimalnya.
Misalnya, harus sesuai hukum nasional negara yang bersangkutan, yakni bila mau mengambil harus seizin otoritas nasional.Jika otoritas nasionalnya Kementerian Ristek atau LIPI, mesti seizin lembaga dimaksud.
Menurut dia, jika kemudian yang diambil jadi bahan obat yang berfungsi mengobati penyakit, artinya sudah ada perhitungan keuntungan, yakni berapa untuk negara asal di mana tempat masyarakat yang diambil.
"Bila dari Sulawesi maka berapa yang dihitung, itulah yang diatur dalam protokol," katanya.(*)
(A035/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010