Yogyakarta (ANTARA News) - Reformasi birokrasi belum menampakkan hasil yang diharapkan, karena reformasi struktural baru menyangkut perubahan pada aspek kelembagaan, sistem, dan prosedur yang lebih mudah diidentifikasi.
"Perubahan yang berbasis budaya untuk mengubah pemikiran dan perilaku belum cukup disentuh," kata pengasuh Komunitas Budaya Yogya Semesta Hari Dendi di Yogyakarta, Minggu.
Ia mengatakan, keberhasilan reformasi birokrasi ditentukan oleh empat permasalahan mendasar yang beraspek budaya, yakni pengelolaan perubahan, pengembangan kepemimpinan, pengelolaan sumber daya manusia, dan budaya kerja.
Namun, menurut dia, di tingkat pemerintahan jika ingin membuat gebrakan perubahan akan banyak menghadapi ranjau-ranjau resistensi. Bahkan, mendengar kata "perubahan" saja mungkin banyak orang yang merasa khawatir.
"Hal itu dapat dimengerti, karena ketika seseorang dipaksa menyesuaikan diri terhadap kondisi yang berubah, di situ selalu ada kegetiran," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, reformasi birokrasi kehilangan mantra saktinya untuk suatu perubahan, karena menghadapi budaya birokrasi yang mengakar kuat.
"Kondisi itu membenarkan tesis antropolog Koentjaraningrat bahwa sistem budaya yakni suatu kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia yang relatif mantap dan kontinu memang sulit untuk diubah," katanya.
Sehubungan dengan hal itu, Komunitas Budaya Yogya Semesta akan menyelenggarakan dialog dengan topik Transformasi Watak "Satriya" Menjadi Budaya Kerja Birokrasi di Bangsal Kepatihan Yogyakarta pada 20 Juli 2010.
"Dialog menghadirkan pembicara kerabat Keraton Yogyakarta KRT Jatiningrat, budayawan Yuwono Sri Suwito, dan pamong budi pekerti Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Ki Sutikno," katanya.(B015/H008)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010