Jakarta (ANTARA News) - Selama ini yang terkenal di peta dunia adalah Great Wall (tembok raksasa) China sebagai monumen sejarah dunia.
Baru-baru ini, dalam berbagai media muncul ulasan, antara lain dalam The Economist (edisi 10-16 Juli 2010) disebut “Great Wall Street: The rise of China’s state-backed banks is stunning...”.
Ulasan tersebut spontan membuat penulis bertanya-tanya dalam diri maupun bertukar pikiran antara sesama pengamat dan pelaku bisnis, mengapa di dalam media dilontarkan Great Wall Street untuk memaknai sebagai pusat keuangan dunia masa yang akan datang.
Hal lama dan cukup luas dikenal adalah Wall Street dalam alur jalanan di Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS). Jalanan itu asal mulanya gedung pasar modal New York Stock Exchange (NYSE). Sebagai distrik keuangan jalan tersebut yang sangat terkenal di kalangan pelaku dan pengamat pasar modal dunia. Di sepanjang jalanan itulah berjejer gedung-gedung lembaga keuangan besar AS. Wall Street AS adalah pusat operasi pasar modal dan keuangan yang mendunia.
Merosotnya sektor finansial/keuangan AS menjadi krisis tahun 2008, karena aktivitas/spekulatif subprime mortgage (hipotek) oleh pelaku Wall Street dengan terlibatnya berbagai kalangan dunia perbankan.
Dengan berbagai umpan promosi yang menggiring berbagai kalangan masyarakat AS ikut serta dalam spekulasi permainan tersebut yang merugikan dan sampai-sampai jual murah bangunan yang dihipotekkan untuk menutup kerugian. Lembaga keuangan AS tersebut yang mengalami kerugian besar, kalau tidak dengan meminta talangan bail-out pihak otoritas keuangan AS, makin parah dan di-palitkan.
Di China sekarang ini sebagai pusat pasar modal China adalah Shanghai Stock Exchange (SHSE) dan di Shenzen Stock Exchange (SZSE). Namun, keduanya tingkat operasi tidak sebesar NYSE. Sektor perbankan China sudah sejak lama didominasi oleh empat bank komersial milik negara, yakni 1. Bank Industri dan Perdagangan (Industrial and Commercial Bank of China), 2. Bank China (Bank of China), 3. Bank Pembangunan (Construction Bank) dan 4. Bank Pertanian (Agricultural Bank of China.)
Makin meraksasanya bank bank milik negara China tersebut sejak awal abad 21 sangat menakjubkan, sebut Bank Pertanian kini dengan 320 juta nasabah, tersebar di daerah pertanian/pedalaman kawaan Senral dan Barat. Untuk Investasi asing dan domestik dalam manufaktur dan jasa terutama dalam kawasan Tmur/pesisir lebih banyak menikmati adanya ketiga bank lainnya tersebut.
Pertummbuhan ekonomi China yang spektakuler dan kemajuan sosial sejak kebijakan gaige kaifan (membuka diri dengan reformasi) diawali tahun 1978 dan bergerak terarah mulai tahun 1992 dengan penegasan negarawan Deng Xiaoping, dalam kunjungan ke Selatan dengan ungkapan “menjadi kaya adalah mulia” yang menggerakkan pelaku ekonomi untuk maju
Sejak memasuki era Deng Xiaoping sampai sekarang inipun Bank Sentral China tidak pernah lepas kendali atas sumber daya keuangan, terutama dengan dipatok (pegged)-nya Yuan dari tahun 1994 sampai 2005 san seterusnya.
Kurs resmi yuan ketika tahun 1978 adalah Dolar AS= Yuan 1,68 dan melemah terus menjadi Yuan 8,321 tahun 1995. Terjadilah devaluasi sebesar 400% dalam kurun waktu 17 tahun. Sejak tahun 1995, kurs mengambang dihapus dan kemudian di-patok (pegged) menjadi Dolar AS=Yuan 8,321 dan untuk kalkulasi resmi dipatok 8,28 sampai 22 Juli 2005. Baru mulai 22 Juli 2005, kur Yuan terhadap dolar AS menjadi Dolar AS=yuan 8,11. Makin menguatnya perekonomian, terjadi revaluasi kembali secara gradual melalui pegging oleh Bank Sentral China akhir tahun 2006: Dolar AS 1 = Yuan 7,69
Akhir 2007: Dolar AS 1 = Yuan 7,27
April 2008: Dolar AS 1 = Yuan 6,992
Akhir tahun 2009 hingga sekarang masih dipatoknya : Dolar AS 1 = Yuan 6,82. Berarti belum terpikirkan apresiasi mata uang mengikuti nilai pasar sebagai dituntut oleh pihak AS dan Eropa Barat umumnya.
Hal yang patut dicermati adalah bahwa selama krisis keuangan AS dan Eropa yang merambat ke Asia tahun 2008-2009, justru cadangan devisa China meningkat terus dan sekarang ini sampai sebesar dolar AS 2,34 trilun.
Meskipun terungkap berbagai kelemahan manajemen bank China memasuki abad 21, tapi dengan strategi yang digerakkan dan supervisi oleh otoritas moneter resmi, sejak awal abad 21 bank-bank milik pemerintah mulai menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Sudah jauh-jauh hari, Gordon R. Orr dalam “what executives are asking about China” (Mckinsey Quaterly. China today, (2004), mengungkapkan bahwa bank-bank milik Pemerintah China menerapkan gradualisme dan berada dalam alur (trajectory) meningkat dengan kontinu memperbaiki sistem operasi dan ketrampilan profesional.
Terikat pada aturan suku-bunga dalam arti bentangan (spread) antara deposito dan pinjaman untuk memungkinkan bank memperoleh laba yang sebagian dari jumlah totalnya dialokasikan untuk menutupi pinjaman tak terlunasi atau dalam istilah keuangan dikenal sebagai bad debts yang terjadi oleh berbagai nasabah selaku pelaku ekonomi pemerintah maupun swasta.
Berbagai ulasan belakangan ini mengemukakan apakah mata uang Renminbi (yuan) dalam masa mendatang akan menjadi mata uang global sebagai dampak krisis finansial dengan goncangan mata uang dolar? Berbagai tanggpan hati-hati dari kalangan akademisi China, menyuarakan demi kepentingan AS, China dan dunia saat ini, agar tidak menjatuhkan (dump) mata uang dolar AS dalam waktu dekat ini.
Alasan yang muncul, antara lain China masih memerlukan waktu 5-10 tahun untuk meluruskan reformasi ekonomi sebelum China siap sedia mengambangkan mata uang Yuan terhadap mata uang dolar AS dan Euro, sekalipun terjadinya surplus perdagangan dengan AS. Belum siapnya ini meskipun pihak AS terus mendesak sampai sekarang ini agar China melonggarkan nilai yuan dengan kebijakan mengikuti mekanisme pasar terbuka. Desakan pihak AS itu lebih banyak untuk kepentingan AS sendiri.
China bersama rakyatnya masih membutuhkan waktu beberapa tahun (ada yang menyebut 5-10 tahun) dalam proses menikmati hasil gaige kaifang (membuka diri) dengan reformasi infrastruktur manusia, pengetahuan dan fisik, terutama untuk menyeimbangkan pertumbuhan tingkat pembangunan ketiga kawasan, yakni Timur dengan jumlah penduduk sekitar 463 juta yang sudah terhitung maju, Sentral dan Barat dengan jumlah penduduk di kedua kawasan sekitar 763 juta.
Berarti yang menjadi taruhannya adalah jumlah penduduk China 1,3 milyar manusia yang tetap mendambakan kesejahteraan dalam kedamaian dan kebahagiaan dalam sistem politik yang telah dimantapkan sejak eranya Deng Xiaoping dan para penerusnya: Ziang Jemin dan Hu Jintao hingga kini.
Pengamatan selama ini menunjukkan tidak mungkin atau tidak masuk akal mengharapkan China menerapkan sistem kapitalisme liberal AS yang memberi tekanan pada fluktuasi mata uang secara bebas. Yang mungkin dalam 5-10 tahunan mendatang adalah tumbuhnya kapitalisme dengan karakeristik China, termasuk dalam membuka diri terhadap dunia luar China secara gradual.
Bagaimana dengan gagasan The Great Wall Street yang mewadahi makin tumbuhnya bank-bank China dan mantapnya pasar modal China yang sudah beroperasi untuk secara fisik dipusatkan dalam satu kawasan, sebut secara fisik kawasan Shanghai Expo 2010 yang berakhir 30 September yad dan mungkin kosong setelah itu atau perlu evaluasi oleh pembuat kebijakan China.
Andaikata gagasan ini masuk akal bagi para pembuat kebijakan China sendiri, dengan kematangan rencana dan program prasarana yang kelaknya makin moderen mendayagunakan teknologi informasi, sumber daya manusia yang makin terdidik dan beretika, dan infrastruktur fisik, bukanlah mustahil The Great Wall Street dalam 5-10 tahunan mendatang menjadi awalnya realita.
Dalam jangka panjang Ekonomi China diprediksi secara gradual dalam 10-20 tahunan menjadi suatu ekonomi pasar modern (yang bukan dicirikan neo-liberalisme penuh). Dan mata uang Yuan menjadi salah satu cadangan mata uang yang penting, seperti yang pernah dialami Dolar AS.
Inilah suatu visi yang prediktif mengenai Great Wall Street oleh berbagai kalangan pengamat termasuk dari China sendiri, sekaipun masih belum resmi dari para pembuat kebijakan China. (*)
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalh pengamat ekonomi/bisnis China dan Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.
Oleh Oleh Bob Widyahartono, MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010