Bintan (ANTARA) - Polemik lahan di Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, yang direncanakan bebaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) berujung tidak manis.

PLN baru-baru ini tidak memasukkan kegiatan pembebasan lahan di Galang Batang untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 2×100 MW dalam rencana kerja tahun ini. Padahal rencana tersebut sudah direncanakan sejak sekitar tiga tahun silam.

Manajer Pertanahan PT PLN Unit Induk Pembangunan Pembangkit Sumatra, Rico Dilo Ginting, yang dihubungi Antara di Bintan, membenarkan pada tahun 2021 PLN tidak berencana membebaskan lahan untuk pembangunan PLTU Galang Batang, Bintan.

"Saya sudah cek, memang tidak dialokasikan pembebasan lahan untuk PLTU Galang Batang pada tahun ini. Saya belum mengetahui penyebabnya, apakah mungkin karena dampak pandemi COVID-19 atau bukan, saya belum mendapat penjelasan," ujarnya.

Menurut dia, kebijakan PLN itu tidak terkait kasus sengketa lahan yang akan dibangun PLTU tersebut. "Kalau bersengketa sekali pun tetap kami bangun. Anggaran pembebasan lahan dapat kami titipkan di pengadilan," ucapnya.

Sebelumnya, Rico mengatakan kasus sengketa lahan itu bergulir di Mabes Polri. Pihak PLN pun diperiksa oleh penyidik Mabes Polri pekan depan.

"Anggota saya, yang berhubungan dengan persoalan teknis di lapangan lebih mengetahui permasalahan lahan tersebut sehingga beliau akan memberi keterangan yang dibutuhkan penyidik," katanya.

Rico mengatakan pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU tidak dilakukan oleh PLN, melainkan pihak Badan Pertanahan Nasional Bintan.

Sampai saat ini, PLN masih menunggu progres dari rencana pembebasan lahan tersebut.

"Untuk pembebasan lahan, kami belum mengeluarkan anggaran sepeser pun. Kami masih menunggu informasi dari BPN," ujarnya.

Rico mengatakan lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan PLTU di Galang Batang sekitar 68 hektare. Namun ia tidak ingin memasuki permasalahan sengketa lahan yang sedang terjadi.

"Tahapan demi tahapan sudah dilaksanakan, bahkan sudah memasuki penetapan harga lahan," ujarnya.

Mantan Humas PT Libra Agrotaman Asri, Ady Indra Pawenari, di Tanjungpinang, Kamis, menyatakan, tanah seluas 68 hektare yang akan dibangun PLTU tersebut seharusnya tidak bermasalah jika Camat Gunung Kijang tidak menerbitkan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) tahun 2004.

Surat tanah itu pun tidak teregistrasi di kantor kecamatan maupun pedesaan setelah dikonfirmasi kepada Arif Sumarsono yang saat ini Camat Gunung Kijang.

Sementara surat tanah berupa sertifikat milik PT Libra diterbitkan tahun 1996.

Tahun 2018, PT Libra mulai melakukan penelusuran terhadap permasalahan lahan tersebut setelah menemukan sejumlah patok untuk pembangunan PLTU. Namun pihak PLN tidak pernah berkoordinasi dengan manajemen PT Libra.

Kemudian PT Libra baru mengetahui ada surat tanah di atas lahan yang dikuasainya diterbitkan oleh Camat Gunung Kijang. Penerbitan 34 Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) oleh Camat Gunung Kijang tahun 2004. Saat itu, Heri Wahyu menjabat sebagai Camat Gunung Kijang.

Kejahatan dalam penguasaan lahan ini diperkuat oleh surat penjelasan Camat Gunung Kijang, Arief Sumarsono, Nomor : 100/ GKJ/ 171, tanggal 19 Juni 2019 dan surat keterangan Kepala Desa Gunung Kijang, La Nade, Nomor : 029/ SKET/ DGK/ VIII/ 2019, tanggal 2 Agustus 2019.

“Dalam surat Camat dan Kepala Desa Gunung Kijang tersebut, sudah sangat tegas disebutkan bahwa 34 SKPT yang diterbitkan Camat Gunung Kijang, HW pada pada tahun 2004, tidak teregister di kantor Camat dan kantor Desa Gunung Kijang,” jelas Ady.

Berdasarkan hasil perhitungan Antara dari surat keterangan Camat dan Kepala Desa Gunung Kijang, luas 34 SKPT yang diduga bodong itu, mencapai 66,45 Ha. Sedikitnya ada 5 nama yang lebih dominan dalam 34 SKT tersebut.

Kelima nama tersebut, yakni Dahlan memiliki 3 SKPT, Yuliana 5 SKPT, M. Jafa’ar Hasbi 3 SKPT, Syamsudin D 2 SKPT dan Abdullah Aba 2 SKPT. Nama lainnya, masing-masing memiliki 1 SKPT.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, motif penerbitan 34 SKPT yang diduga dibuat dengan menggunakan tanggal mundur itu, ada kaitannya dengan rencana PT. PLN Persero membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kapasitas 2 x 100 MW di daerah tersebut.

Belakangan, setelah Unit Induk Pembangunan Pembangkit Sumatera yang berkantor di Medan melakukan studi kelayakan pembangunan PLTU kapasitas 2 x 100 MW dan Gubernur Kepri melakukan penetapan lokasi, barulah muncul masalah baru.

Lokasi yang semula diklaim oleh Dahlan dan kawan-kawan sebagai miliknya berdasarkan bukti kepemilikan 34 SKT tahun 2004 tersebut, dimentahkan oleh pemilik PT Libra, Laurence M. Takke dengan menunjukkan bukti kepemilikan sertipikat hak milik terbitan tahun 1996.

Awalnya, Laurence tak keberatan tanahnya ditetapkan sebagai lokasi pembangunan PLTU 2 x 100 MW demi kepentingan masyarakat dan negara. Namun, Kantor Pertanahan Kabupaten Bintan yang ditunjuk sebagai pelaksana pengadaan tanah, sampai sekarang belum berhasil menyelesaikan permasalahan klaim kepemilikan atas tanah tersebut.

“Akhirnya, akibat ulah mafia tanah ini, masyarakat dan negara yang dirugikan. Bayangkan, berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan. Mulai dari biaya studi kelayakan, pengukuran, pemasangan patok dan biaya panitia pengadaan tanah. Ini harus diusut tuntas,” tegas Ady.

Terkait permasalahan sengketa lahan tersebut, Heri Wahyu menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani surat tanah (SKPT) tersebut.

"Saya tidak pernah menandatangi 34 SKPT tersebut," tegasnya.

Di atas lahan yang sama, ada sejumlah warga dari pihak keluarga perusahaan tertentu yang pernah mengelola lahan itu juga memiliki surat tanah. Pihak perusahaan ini juga pernah melaporkan G, seorang warga, yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan penyerobotan lahan di lokasi yang akan dibangun PLTU tersebut.

Berdasarkan data, Am, tahun 2018 sudah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa Gunung Kijang, namun dirinya diminta untuk mendatangani sejumlah SKPT. SKPT itu tertulis tahun 2004, namun ditandatangi tahun 2017


Benang kusut

Mantan Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Riau merasa prihatin dengan permasalahan sengketa lahan yang terjadi di lokasi yang akan dibangun PLTU.

Semestinya, peran Pemerintah Kepri, Pemerintah Bintan, BPN Bintan semakin besar mewujudkan PLTU Bintan dengan kapasitas 2x100 MW, yang telah ditetapkan sebagai proyek strategi nasional. Apalagi pemerintah telah membentuk tim agar proyek tersebut berjalan lancar.

Regulasi untuk pelaksanaan proyek strategi nasional dan ketenagalistrikan juga sudah cukup jelas dan tegas, sehingga tidak dapat dihalangi oleh permasalahan lahan, yang diduga dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan tertentu.

"Benang kusut dalam sengketa lahan itu semestinya dapat diurai sesuai ketentuan yang berlaku, bukan malah semakin kusut sehingga pembebasan lahan untuk PLTU menjadi terkendala," ujarnya, yang juga Wakil Ketua PKS Kepri.

Menurut dia, masyarakat dan Pemerintah Kepri khusus di Pulau Bintan seharusnya merasa bangga dan senang ketika pemerintah pusat menetapkan pembangunan PLTU sebagai proyek strategi nasional karena banyak keuntungan yang didapatkan, seperti memperkuat kehandalan listrik untuk Pulau Bintan dan sebagai salah satu penguatan fasilitas iklim investasi khususnya kawasan FTZ di Bintan Timur dan Galang Batang.

Proyek ini, kata dia salah satu kesempatan emas bagi Kepri untuk menumbuhkan ekonomi, apalagi masih dalam situasi pandemi COVID-19 ini.

"Terkait masih ada kasus tanah di sekitar lokasi proyek pembangun PLTU itu jangan jadi hambatan dan kendor untuk merealisasikan proyek strategi nasional ini. Justru pemerintah punya kekuatan dan kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa ini, salah satu nya menitipkan dana pembebasan kepada pihak pengadilan dan lain-lain. Inti nya proyek pltu harus tetap jalan," ucapnya.

Ia berharap Ansar Ahmad yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Gubernur segera dapat menuntaskan masalah ini, karena kesempatan ini mungoin tidak pernah datang kedua kali.

"Saya optimistis Pak Ansar mampu mengembalikan proyek itu agar dilaksanakan di Bintan. Jika proyek ini terwujud, Pulau Bintan akan menjadi primadona investasi selain Batam," katanya.

Dukung
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau minta agar PT PLN segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Galang Batang, Kabupaten Bintan.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Kepri Hendri Kurniadi, mengatakan, pihaknya sejak awal mendukung dan berupaya membantu penyelesaian berbagai hambatan PT PLN dalam membangun PLTU dengan kapasitas 2 kali 100 MW.

Bantuan yang diberikan seperti memfasilitasi beberapa kali pertemuan antara pemerintah daerah dengan manajemen PLN selama tahun 2020.

"Komitmen kami membantu PLN agar proyek strategis nasional itu dapat dilaksanakan secepatnya untuk kepentingan publik," katanya.

Hendri belum mengetahui apa hambatan PLN sehingga proyek skala prioritas nasional tersebut belum dilaksanakan sampai sekarang. Dinas ESDM Kepri siap memfasilitasi dan membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi PLN sesuai dengan kapasitas atau wewenang dinas tersebut.

Ia merasa optimistis PLN memiliki solusi untuk tetap melaksanakan pembangunan PLTU itu, meski mungkin terbentur legalitas lahan.

"Tentu kami mengharapkan PLN segera membangun PLTU untuk meningkatkan kapasitas pelayanan," ucapnya.

Sementara itu, Manajer Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) PT PLN (Persero) Tanjungpinang Suharno mengatakan pihaknya tidak mengetahui secara jelas permasalahan yang dihadapi instansinya sehingga PLTU Galang Batang belum dibangun di atas lahan seluas sekitar 60 hektare.

"Ada unit khusus di PLN Batam yang menangani permasalahan pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU tersebut. Kalau kami hanya bagian operasional setelah PLTU itu beroperasi," ujarnya.

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021