kalau masih menjadi pertanyaan, bagaimana upaya penghentiannya oleh ASEAN

Jakarta (ANTARA) - Praktisi Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mendorong Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) segera menunjuk utusan khusus menjadi mediator antara dua pihak yang berseteru di Myanmar, dalam respons terhadap Konsensus Lima Poin yang dihasilkan dalam pertemuan para pemimpin ASEAN.

Respons terkait penunjukan utusan khusus atau ‘Special Envoy’ ASEAN itu khususnya merujuk pada poin ketiga dari konsensus tersebut, yang mengatakan bahwa utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.

“Untuk poin ketiga maka Ketua ASEAN harus segera menunjuk Special Envoy dalam waktu segera karena Special Envoy ini akan berperan sebagai mediator antar dua pihak yang bertikai,” ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Baca juga: AICHR Indonesia sambut konsensus ASEAN terkait krisis Myanmar
Baca juga: Meutya Hafid: Pertemuan Pemimpin ASEAN solusi konkrit bagi Myanmar

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu memberikan tanggapannya terhadap masing-masing poin dari konsensus yang dihasilkan dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN atau ASEAN Leaders’ Meeting yang digelar di Jakarta pada Sabtu (24/4). Secara prinsipil, menurut dia konsensus tersebut sudah bagus dan patut diberikan apresiasi.

Adapun terhadap poin konsensus pertama, yang mengatakan bahwa kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, Hikmahanto menyebut jika Jenderal Min Aung Hlaing sebagai pimpinan junta Myanmar turut menyetujui hal tersebut, maka perlu dilihat ke depan apakah masih akan ada korban yang jatuh terutama dari kalangan masyarakat sipil.

“Karena kalau masih menjadi pertanyaan, bagaimana upaya penghentiannya oleh ASEAN,” ujarnya.

Dia pun juga mempertanyakan respons apa yang boleh diambil oleh militer terhadap aksi masyarakat, karena masyarakat Myanmar bisa saja merasa tidak diikutkan dalam pembuatan Konsensus Lima Poin tersebut.

Terkait poin kedua yang menyerukan dialog konstruktif di antara semua pihak yang berkepentingan yang harus dimulai untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat, dia meyakini bahwa hal tersebut masih belum konkret, mengingat belum jelasnya siapa yang akan memulai dialog konstruktif itu.

“Mengingat kedua pihak yang bertikai saling menutup untuk dialog,” ujarnya.

Poin konsensus keempat menyebut bahwa ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan menurut Hikmahanto, yang juga merupakan Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani itu, mekanisme masuknya AHA Centre ke Myanmar perlu diatur, termasuk terkait upaya pelindungan dan memastikan bahwa keselamatan mereka terjaga.

Dia pun mengatakan bahwa poin kelima, yang mengatakan bahwa utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait, merupakan poin yang bagus karena sebagai mediator, Special Envoy perlu hadir ke Myanmar dan bertemu langsung dengan pihak-pihak yang bertikai.

Myanmar telah berada dalam krisis sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi, dalam kudeta pada 1 Februari 2021.

Pihak militer menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, para politikus dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis prodemokrasi dan HAM di Myanmar.

Unjuk rasa pembangkangan sipil yang hampir setiap hari dilakukan untuk menentang kudeta Myanmar ditanggapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan hingga menewaskan ratusan orang.

Menurut data Lembaga Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP), korban tewas dalam unjuk rasa anti kudeta di Myanmar sudah mencapai lebih dari 600 orang.

Baca juga: Anggota DPR sambut lima kesepakatan ASEAN Leaders' Meeting
Baca juga: Warga Myanmar kecam konsensus ASEAN-junta, tak ada protes langsung

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021