Tbilisi (ANTARA News/Reuters) - Prancis mendesak Rusia mematuhi ketentuan-ketentuan gencatan senjata dan menarik pasukannya dari wilayah separatis Georgia, Abkhazia dan Ossetia Selatan, kata Menteri Luar Negeri Bernard Kouchner, Kamis.
Prancis menengahi gencatan senjata antara Georgia dan Rusia untuk mengakhiri perang lima hari mereka pada 2008.
"Menurut perjanjian yang kami tandatangani, pasukan Rusia seharusnya ditarik ke posisi-posisi sebelum konflik dan hal ini tidak dilakukan, dan kami terus mengupayakannya," kata Kouchner pada jumpa pers setelah bertemu dengan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili.
"Bagi kami Abkhazia dan Ossetia Selatan adalah wilayah-wilayah Georgia dan kami ingin bekerja sebisa mungkin dan dalam cara seproduktif mungkin... agar wilayah-wilayah itu kembali ke Georgia lagi," katanya.
Kunjungan dua hari Kouchner itu dilakukan setelah lawatan ke Tbilisi oleh Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, yang memperingatkan Georgia agar tidak memberi Moskow alasan untuk melakukan tidakan agresi dan mengatakan bahwa upaya-upaya diplomatik harus ditingkatkan untuk mengatasi ketegangan.
Dalam kunjungan itu, Hillary juga menekankan komitmen AS bagi kedaulatan wilayah Georgia.
"Saya datang ke Georgia dengan pesan tegas dari Presiden Obama dan saya: AS tetap teguh dalam komitmennya bagi kedaulatan dan integritas wilayah Georgia," kata Hillary dalam penjelasan kepada pers bersama Presiden Saakashvili pada Senin (5/7).
Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus tahun 2008, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.
Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.
Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.
Pada 27 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.
Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.
Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun 2008.
Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.
Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.
Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".
Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.
Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010