Surabaya (ANTARA News) - Guru besar filsafat Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof Bambang Sugiharto, mengemukakan media massa relah terjebak dalam budaya pop yang menggempur sejak dekade 1980-an, karena itu masyarakat harus cerdas dan kritis.
Ia mengemukakan hal itu saat berbicara dalam diskusi bertajuk "Pop Culture and Visual Art" yang digelar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) di kampus setempat, Kamis.
Dalam diskusi dengan pembicara utama dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Djuli Djatiprambudi itu, ia mengatakan era globalisasi membuat tradisi warisan leluhur bangsa-bangsa Timur seperti Indonesia mendapat serangan budaya pop dan budaya visual.
"Nasihat moral keagamaan dirongrong keputusan praktis dan pragmatis. Begitu juga tampilan-tampilan santun semacam kebaya panjang dengan motif visual batik dilindas mode kaos kutungan `semau gue` plus gambar-gambar seronok," katanya.
Dalam kegiatan yang digelar sebagai rangkaian program Tahun Kunjungan Jatim 2011 itu, Bambang menyoroti budaya pop merupakan budaya yang paling dipahami dan disukai publik umum, namun keberadaannya dinilai rendahan.
"Dalam kacamata industri budaya, seni pop juga dinilai sebagai produk kapitalisme yang bersifat massal dan dikelola terus menerus oleh jejaring media iklan semacam televisi, radio, sinema, dan internet," katanya.
Ia mencatat benturan tradisi dan budaya pop di Indonesia menunjukkan gelagatnya pada dekade 1980-an yang ditandai dengan perubahan situasi sosial ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisasi.
"Liberalisasi ekonomi membuka kantong budaya urban yang mengarah pada budaya pop. Kantong-kantong itu seperti menjamurnya kafe, butik, mal, plasa, galeri, dan semacamnya. Perilaku masyarakat pun didikte dari estetis dan religius menjadi komoditas perdagangan yang ditentukan pasar," katanya.
Ironisnya, media massa seperti televisi, radio, surat kabar, dan jejaring internet pun terjebak dengan membalik strata budaya dan tata perilaku masyarakat, sehingga tidak ada lagi standar yang bisa dijadikan acuan, karena semuanya menjadi festival, kemeriahan, dan permainan yang kabur.
"Permainan citra pada kehidupan masyarakat sekarang telah menutupi kebenaran. Kebenaran politik menjadi kabur dengan banyaknya politik citra seperti dalam kasus `cicak-buaya`. Begitu juga dengan kebenaran moralitas menjadi hilang batas seperti tarik ulur pornografi yang tak pernah selesai," katanya.
Dalam situasi kekacauan budaya saat ini, ia mengimbau masyarakat awam untuk lebih cerdas dan kritis dalam memilih, sehingga tidak mendapatkan barang yang bagus tapi jelek kualitasnya.
(T.E01/I007/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010