Samarinda (ANTARA News) - Ada anggapan sebagian besar masyarakat bahwa Duyung (Dugon dugon) sudah punah di perairan selatan Kalimantan Timur, namun ternyata mamalia laut paling langka di Indonesia itu masih ada di Teluk Balikpapan.
"Saat ini duyung di Teluk Balikpapan dalam kondisi terancam. Ancaman utama adalah hilangnya padang lamun yang merupakan pakan utama duyung. Lamun menghilang karena sedimentasi dan polusi kimia," kata peneliti kehidupan liar satwa langka itu di Teluk Balikpapan, Stanislav Lhota di Balikpapan, Selasa.
Pada tahun 1996 telah diusulkan bahwa dugong telah punah di Kalimantan. Tapi empat tahun kemudian, pada tahun 2000 ditemukan kembali oleh Yayasan RASI (Rare Aquatic Species Indonesia) di Teluk Balikpapan, di mana masih dapat dilihat sampai sekarang.
Ilmuwan dari Universitas Bohemia Republik Chehnya itu menjelaskan bahwa sering orang salah persepsi terhadap satwa langka itu sehingga disebut sebagai "ikan". Padahal duyung adalah termasuk mamalia, yakni bernafas di udara dan induk menyusui anaknya.
"Namun, satwa ini tidak sama dengan jenis lumba-lumba. Anatomi duyung lebih mirip dengan gajah. Berbeda dengan lumba-lumba, duyung tidak memakan ikan. Binatang ini adalah jenis herbivora yang memakan rumput laut di padang lamun, hal ini yang membuat Duyung terancam di Teluk Balikpapan," katanya.
Lamun menghilang di Teluk Balikpapan diduga akibat terjadinya sedimentasi dan polusi kimia. "Salah satu sumbernya adalah perkebunan sawit, misalnya perkebunan PT Agro Indomas di Kelurahan Pemaluan dan Sepaku (kabupaten PPU)," papar dia.
Perusahan tersebut telah menanam sawit di sepanjang pesisir dan tepian sungai dan anak sungai, padahal sesuai peraturan di Indonesia tindakan perusahaan itu adalah ilegal menanam sawit di zona penyangga di sepanjang pantai dan tepi sungai.
"Setelah pembukaan pinggiran sungai terjadi, kondisi air di Sungai Sepaku dan Pemaluan berubah warna dari coklat kehijauan menjadi kuning, hal yang dapat dilihat bahkan dari citra satelit! Perkabunan sawit dan HTI kayu akasia (misalnya oleh PT ITCI Hitani Manunggal di Ulu Sungai Pemaluan dan Sepaku) juga merupakan sumber limbah herbisida," kata dia.
Padahal, kenyataanya limbah tersebut tidak saja meracuni air yang merusak padang lamun namun berdampak buruk bagi manusia.
Ia menambahkan bahwa salah satu sumber sedimen dan polutan kimia adalah pengembangan industri, khususnya di sepanjang pesisir Kariangau yang memang dialokasikan. Merkuri dari limbah industri tidak hanya menumpuk di ikan yang dimakan oleh masyarakat, tetapi juga di rumput laut, yang dimakan oleh dugong tersebut.
Bahkan, imbuh dia bahwa ada dua pabrik CPO (crude palm oil) sedang dibangun di luar Kawasan Industri Kariangau, di kawasan lindung (PT. Dermaga Kencana Indonesia) dan di kawasan mangorve (PT. Mekar Bumi Andalas).
Dengan pembangunan dua perusahan ini di daerah yang sampai saat ini masih alami, Balikpapan tidak lagi memiliki pesisir yang sehat.
"Kondisi terburuk yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah kemungkinan terjadi bencana bagi lingkungan serta kesehatan manusia, yakni tumbuhnya tambang batu bara sepanjang Teluk Balikpapan khususnya di kabupaten Penajam paser Utara (PPU)," kata Stanislav Lhota.
Contohnya, perusahaan besar seperti PT Sing-Lurus Pratama terletak sangat dekat dengan habitat duyung, dan merupakan sumber polutan yang sangat signifikan.
Kian Padat
Kian padat lalu lintas kapal di Teluk Balikpapan, kasus pembuangan oli, pengecatan kapal serta pembersihan kapal ketika berada di pelabuhan, menjadi faktor yang menjadi sumber polutan yang membunuh rumput laut dan bisa dapat menyebabkan keracunan pada duyung.
"Kebisingan mesin kapal mengganggu duyung di tempat mencari makanan dan mengantar mereka ke daerah-daerah yang lebih jauh. Daerah di mana duyung masih sering terlihat adalah Muara Sungai Tempadung, jauh dari Kawasan Industri Kariangau," ujar dia.
Tetapi, katanya menambahkan bahwa dengan pembangunan pabrik CPO oleh PT. Dermaga Kencana Indonesia, duyung akan dipaksa kembali untuk meninggalkan sumber makanan yang berada di sana. Sedang duyung ini tidak lagi memiliki sumber makanan lagi selain kawasan tersebut.
"Tetapi ancaman terbesar bagi dugong adalah rencana membangun Jembatan Pulau Balang dan jalan penghubung sepanjang sebagian besar pesisir Teluk Balikpapan. Pembangunan ini akan menyebabkan perambahan besar-besaran dan mengakibatkan deforestasi dan degradasi ekosistem, sampai mengancam integritas ekologi seluruh Teluk Balikpapan, bukan hanya habitat duyung," papar ilmuwan yang juga meneliti Pesut Mahakam dan Bekantan di Teluk Balikapapan itu.
Di belahan dunia yang lainnya, Duyung bisa ditemukan dari Madagaskar dan Afrika Timur melalui India sampai ke Australia.
"Yang jelas, sampai kini belum ada data berapa populasi satwa ini yang masih bertahan di Indonesia. Ini mungkin antara 1.000 sampai dengan 10.000 ekor," katanya.
"Para ilmuwan yakin bahwa jumlahnya menurun drastis selama beberapa tahun terakhir. Di Kalimatan, hanya diketahui dari lima lokasi, yakni Teluk Balikpapan, Kotawaringin, Pulau Karimata, Teluk Kumai dan Kepulauan Derawan," papar ilmuwan tersebut.
(ANT/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010