Pesawaran (ANTARA News) - Keong mas yang selama ini dianggap sebagai hama oleh petani dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku alternatif untuk pembuatan pakan ternak.
"Selama ini keong mas selalu menjadi momok yang cukup meresahkan petani, karena bila hewan tersebut sudah menyerang bisa merusak batang tanaman padi milik petani," ujar Sekretaris Klinik Pertanian Keliling Pelayanan Petani (KPKPP), M Sumaryo, di Pesawaran, Selasa.
Ia mengatakan, keong mas yang banyak dijumpai di lahan persawahan atau pada tanaman yang cukup basah mengandung protein yang cukup tinggi, sekitar 44-46,2 persen.
Daging hewan keong mas itu bisa digunakan sebagai pengganti tepung ikan dan kulitnya bisa menjadi pengganti tepung tulang. Selama ini Indonesia masih mengimpor bahan baku pakan, seperti tepung ikan dan tepung tulang, yang mencapai ratusan ribu ton dalam setahun.
"Saya yakin, dengan pemanfaatan pakan ternak dari keong mas itu dapat membantu petani dalam peningkatan pendapatan mereka di luar hasil produksi yang mereka peroleh setiap musim tanam," katanya yang juga merupakan Dosen Fakultas Pertanian Unila.
Sementara itu, petani setempat, Royani, keong emas ini kalau menyerang tanaman sangat berbahaya, bisa langsung habis, apalagi sulit sekali untuk membasminya menggunakan insektisida.
"Upaya untuk mengurangi serangan hama tersebut sebagian petani mengambilnya kemudian dipecahkan di pematang, termasuk telur-telurnya," kata dia.
Tetapi, lanjutnya, saya mengumpulkannya untuk dibawa pulang sebagai pakan ternak dalam hal ini mentok dan itik, soalnya, itik suka sekali dan bisa merangsang untuk bertelur.
Ia pun mengaku untuk mengambil keong emas dilakukan pagi hari sebelum matahari terbit, karena setelah terkena sinar mahluk itu akan bersembunyi.
"Keong itu aktivitasnya malam hari dan ketika masih pagi banyak yang berdiam menyelesaikan bertelur atau berjalan untuk sembunyi," terang dia.
Petani lainnya, Suhadi, mengatakan, awalnya kesulitan untuk membasmi hama keong emas itu, namun setelah ia memelihara itik persolan keong mas tersebut dapat teratasi.
(ANT/A024)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010