Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat telah terjadi 63 kali gempa berkedalaman sangat dangkal (swarm) di wilayah Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara sejak 23 Januari hingga 20 April 2021.
"Rentetan gempa ini memiliki magnitudo terkecil 0,8 dengan kedalaman dua kilometer yang terjadi pada 19 April 2021," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Rabu.
Sedangkan gempa dengan magnitudo terbesar mencapai 3,9 yang terjadi pada 15 Maret 2021 dengan kedalaman lima kilometer yang sempat dirasakan sebagai guncangan lemah oleh warga Samosir dalam skala intensitas II MMI.
Berdasarkan seluruh data gempa yang terkumpul, sebagian besar rentetan gempa yang terjadi memiliki magnitudo kurang dari 2,4 dengan kedalaman kurang dari lima kilometer.
Baca juga: Samosir dilanda gempa 5,2 SR
Baca juga: Warga Tobasa berhamburan keluar rumah akibat gempa
Jika mencermati aktivitas gempa yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa rentetan gempa ini termasuk dalam klasifikasi tipe gempa kerumunan atau gempa swarm.
Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa dengan magnitudo relatif kecil dengan frekuensi kejadiannya sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama di wilayah sangat lokal.
Aktivitas gempa swarm Samosir ini meskipun magnitudonya kecil tetapi terjadi cukup intensif. Sebagai contoh beberapa kejadian dimana dalam sehari terjadi aktivitas swarm cukup banyak seperti pada 4 April 2021 terjadi sebanyak delapan kali, pada 6 April 2021 terjadi enam kali,18 April 2021 terjadi 11 kali dan 19 April 2021 terjadi lima kali.
Daryono mengatakan, fenomena gempa swarm di Indonesia sudah terjadi beberapa kali, seperti aktivitas swarm di Klangon, Madiun (Juni 2015), Jailolo, Halmahera barat (Desember 2015) dan Mamasa, Sulawesi Barat (November 2018).
Pada beberapa kasus swarm banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian (vulkanik), dan hanya sedikit diakibatkan oleh aktivitas tektonik murni.
Gempa swarm vulkanik terjadi karena adanya gerakan fluida magmatik yang mendesak dengan tekanan ke atas dan ke samping tubuh gunung melalui saluran magma (conduit) atau bagian yang lemah (fracture dan patahan) dari gunung tersebut.
Intrusi magmatik yang memotong lapisan batuan ini disebut dike. Dengan energi dorong dan tekanan dike ke atas yang terus menerus melewati bagian tubuh gunung, maka akan terjadi proses rekahan perlahan-lahan hingga menyebabkan gempa kecil yang terjadi berulang-ulang dan tercatat oleh sensor seismograf.
Selain berkaitan dengan kawasan gunung api, beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvolkanik. Swarm juga dapat terjadi di kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan (fractures).
Terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi. Dampak gempa swarm jika kekuatannya cukup signifikan dan sering dirasakan guncangannya, memang dapat meresahkan masyarakat.
"Masyarakat tidak perlu panik dan khawatir dengan adanya aktivitas gempa swarm di wilayah ini," katanya.
Namun demikian, jika belajar dari berbagai kasus gempa swarm di berbagai wilayah, sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan rumah di zona swarm tersebut memiliki struktur yang kuat.*
Baca juga: BMKG: Rentetan gempa di Palasa Sulteng mengarah pada aktivitas swarm
Baca juga: BMKG: 673 gempa dan tiga di antaranya merusak
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021