"Atas nama PBNU kami mengucapkan belasungkawa yang sedalam dalamnya dan mengimbau warga nahdliyin ikut berdoa untuk beliau," kata Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, di Jakarta, Minggu.
Said Aqil mengenang Kiai Idham Chalid, ketua umum PBNU dari 1956 hingga 1984, sebagai sosok ulama sekaligus politisi yang moderat dan santun.
"Beliau bisa diterima di mana-mana dan selalu berada di tengah, tidak ekstrim," kata alumni Universitas Ummul Qura, Arab Saudi, dan beberapa pondok pesantren itu.
Kiai Idham Chalid (88) meninggal dunia di kediamannya di kawasan pendidikan Darul Ma`arif, Cipete, Jakarta Selatan, Minggu, sekira pukul 08.00 WIB, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.
Semasa hidupnya, selain berkiprah di organisasi NU, sekaligus menjadi presiden partai ketika NU menjadi partai politik, Kiai Idham juga pernah menjabat sejumlah jabatan di pemerintahan dan kenegaraan, antara lain Wakil Perdana Menteri II di masa Orde Lama, Menteri Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial Ad Interim, Ketua MPR/DPR, dan Ketua DPA di masa Orde Baru.
Menurut buku "Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid" yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, tokoh muda NU dan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca.
Dalam pandangan mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, sikap luwes Kiai Idham memang dimaknai berbeda berbagai pihak. Namun, sebagai pemimpin jamaah besar seperti NU, kearifan dan ketangguhan memang sangat dibutuhkan.
"Orang yang mengerti Pak Idham menyatakan beliau orang yang istiqomah dalam berbagai situasi, tetapi orang yang tidak cocok pasti mengatakan oportunis karena dari masa ke masa selalu mendapat tempat," kata Hasyim.
(T.S024/S018/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010