Jakarta (ANTARA News) - Isu percepatan pemanasan global dan perubahan iklim secara cepat semakin marak dibicarakan di berbagai forum dunia.
Bahkan menjelang akhir tahun ini akan ada konferensi tingkat tinggi (KTT) di Meksiko, yang mengevaluasi dan menindaklanjuti kesepakatan negara-negara mengatasi pemanasan global yang pernah diikrarkan di Bali.
Tidak mau menunggu, kesepakatan mengenai langkah yang akan diambil para petinggi di ajang internasional tersebut, sejumlah pesohor dunia telah memiliki cara tersendiri dalam memberi kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon yang menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim secara cepat.
Diantaranya adalah si "Pretty Woman" Julia Robert yang memanfaatkan ketenarannya untuk membangun kesadaran lingkungan dengan menggunakan mobil ramah lingkungan.
Istri Danny Moder itu menggunakan mobil bermesin hibrid, Toyota Prius, untuk mengantar tiga anak mereka keliling Los Angeles.
Bahkan ia menggunakan bahan bakar biodiesel untuk kendaraan lain miliknya. Selain itu, sebagai juru bicara Earth Biofuels, salah satu pelakon "Monalisa Smile" itu juga mempromosikan biodiesel untuk bis sekolah di seluruh Amerika Serikat (AS).
Tidak mau ketinggalan, lawan mainnya dalam film Ocean Eleven, George Clooney, pernah membuat perusahaan Commuter Cars Corp terkenal luas, saat ia membeli mobil mini bertenaga listrik yaitu Tango 600.
Demikian pula pesohor lainnya seperti Paris Hilton yang secara bangga pernah memamerkan mobil hibrid GMC Yukon keluaran tahun 2008.
"Aku telah mengganti semua bola lampuku untuk menghemat energi, dan aku membeli mobil hibrid sekarang. Sebuah perubahan kecil yang bisa dilakukan semua orang demi membuat perubahan besar," ujar Paris bangga terhadap hadiah yang dia beli sendiri pada ulang tahunnya ke-27 itu.
Jalan di Tempat
Di Indonesia, gaung pemakaian mobil ramah lingkungan belum sebesar di AS maupun negara lainnya seperti Jepang.
Bahkan program pemakaian biofuel tidak berkembang pesat, karena subsidi pemerintah lebih diarahkan ke bahan bakar minyak (BBM). Hal itu menyebabkan harga biofuel tidak lebih murah dari BBM ketika harga minyak sawit mentah (CPO) tinggi.
Para pesohor dan pejabat negeri ini pun belum memberi contoh nyata tentang kepedulian mereka pada mobil ramah lingkungan.
Padahal dalam dua tahun terakhir secara gencar para agen tunggal pemegang merek (ATPM) terus memperkenalkan teknologi terbaru mobil ramah lingkungan mereka di Indonesia.
Tidak hanya diperkenalkan, sejumlah ATPM telah memasarkan mobil tersebut secara terbatas, berdasarkan pesanan, seperti yang dilakukan PT Toyota Astra Motor (TAM) dengan mobil hibrid, Prius.
Demikian pula ATPM lain seperti PT Honda Prospect Motor (HPM) dengan Insight-nya. Selain itu juga ada PT Kramayudha Tiga Berlian (KTB) yang memperkenalkan mobil listrik i-Miev.
Namun, sampai sejauh ini belum ada kemajuan pesat yang dicapai dalam bentuk kepedulian konsumen, pemerintah, dan pihak berkepentingan lainnya dalam memperluas penggunaan dan kebijakan yang mendukung mobil ramah lingkungan.
Indonesia seakan berjalan di tempat, ingin mengurangi emisi karbon sampai 26 persen pada 2020 dan suka pada mobil ramah lingkungan, tapi tidak mau berupaya maksimal.
Pihak TAM yang sudah lebih dari setahun memasarkan Prius pun, mengaku tidak mampu menjual banyak mobil dengan emisi karbon yang sangat rendah itu di Indonesia.
Padahal di dunia, Toyota sudah memasarkan sekitar dari 1,7 juta unit Prius sejak dipasarkan tahun 1997 sampai April 2010 , dengan konsumen terbanyak di Jepang dan AS.
"Memang ada jurang antara selera dan nilai..kalau di bilang bagus, banyak konsumen mau Prius. Tapi begitu lihat harga dibanding mobil dengan spesifikasi sejenis, minat menyurut," ujar Presdir TAM Johnny Darmawan.
Harga mobil Prius hampir dua kali lipat dibandingkan dengan mobil sejenis dengan mengusung mesin bersilinder 1.800 cc.
Harga mobil ramah lingkungan menjadi lebih mahal karena menggunakan dua mesin yaitu mesin dengan tenaga listrik dan mesin berbasis BBM.
Selain itu, karena masih diimpor secara utuh (CBU), pajak mobil tersebut juga relatif lebih tinggi dibandingkan mobil yang dirakit di dalam negeri.
Diakui Johnny tanpa dukungan kebijakan, mobil ramah lingkungan menjadi tidak menarik di Indonesia.
"Padahal, sektor transportasi memberi kontribusi sebesar 24 persen pada emisi gas karbon di dunia," ujar Johnny yang juga salah satu Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia itu.
Insentif
Di berbagai negara, seperti AS dan Jepang, mobil ramah lingkungan mendapat berbagai insentif, tidak hanya pajak, tapi juga kemudahan, diantaranya bebas terhadap ketentuan semacam "3 in 1" di jalan.
Sementara di Indonesia, sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang apa pun terkait produk ramah lingkungan, apa lagi insentif.
Pihak pemerintah hanya mengatakan akan memberi insentif, namun hingga kini belum ada implementasi berupa peraturan perundangannya.
Padahal beberapa pejabat kementerian mengakui insentif produk, termasuk mobil ramah lingkungan, sangat penting untuk mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi dan industri.
"Memang teorinya gampang, tapi implementasinya sulit. Kami masih mengkaji secara internal dan lintas kementerian," kata Deputi Menteri Lingkungan Hidup Hendri Bastaman beberapa waktu lalu.
Ia menegaskan penerapan peraturan tersebut perlu proses dan memikirkan kepentingan masyarakat banyak.
Dari sisi industri, pemerintah telah memiliki Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN). Dalam kebijakan jangka panjang itu, industri otomotif termasuk industri andalan masa depan Indonesia.
Namun, tidak pernah dijelaskan, apakah kebijakan itu akan mengarah pada dukungan terhadap mobil ramah lingkungan. Industri otomotif pada KPIN nampaknya hanya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan produksi, mengingat otomotif memberi sumbangan lebih dari lima persen terhadap pertumbuhan industri dalam dua tahun terakhir.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Riset dan Teknologi, Rachmat Gobel, yang tengah menyiapkan peta jalan (roadmap) yang akan dibawa Pemerintah Indonesia ke KTT perubahan Iklim di Meksiko, juga mengakui pemerintah belum punya konsep yang jelas mengenai pengurangan emisi karbon dari sektor transportasi dan industri.
"Pernyataan ada, tapi implementasi kurang. Saya berharap jangan sampai (rencana kebijakan insentif produk dan industri ramah lingkungan) hanya cerita saja," ujarnya.
Ia menegaskan dengan kebijakan insentif yang jelas bagi produk ramah lingkungan, maka Indonesia mendapatkan banyak manfaat diantaranya penurunan emisi karbon dan masuknya investasi bila produk tersebut memiliki volume pasar yang besar di Indonesia.
"Investor cenderung memilih investasi di negara yang pasarnya besar, dan Indonesia memiliki potensi pasar terbesar di ASEAN," kata anggota Komite Inovasi Nasional itu.
Namun agaknya keinginan untuk memperluas penggunaan mobil ramah lingkungan masih menjadi wacana di Indonesia dalam jangka pendek ini.
Hal itu tersirat dari pernyataan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, pada dialog mengenai perspektif industri dan teknologi hijau untuk perubahan iklim pada pertengahan Juni lalu.
"Prioritas belanja (APBN) jangka pendek terfokus pada area yang memiliki emisi tinggi seperti kehutanan, perubahan pemanfaatan lahan dan gambut, dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus melakukan mitigasi CO2 di berbagai sektor prioritas lainnya," kata mantan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Indonesia Bersatu I itu.
(R016/S026)
Oleh Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010