Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara dengan tingkat risiko bencana yang tinggi. Setidaknya setiap tahun terdapat lebih dari dua ribu bencana yang disebabkan karena faktor alam, nonalam, maupun manusia.
Selama bulan Januari hingga awal April 2021 saja, BNPB mencatat terdapat 1.045 kejadian bencana alam. Kejadian bencana terbaru di bulan April ini yaitu banjir dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah menelan korban 165 meninggal dunia dan 45 masih hilang, serta gempa bumi di Malang yang mengakibatkan ribuan rumah rusak.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan kejadian bencana alam tergolong tinggi. Pada tahun 2020 terdapat 2.925 bencana alam, tahun 2019 terdapat 3.721 kejadian, tahun 2018 terdapat 2.426.
Bencana alam yang terjadi selama ini didominasi bencana banjir, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan abrasi. Bencana alam telah merenggut banyak korban jiwa dan menimbulkan kerugian material yang sangat besar. BNPB menyatakan kerugian material akibat bencana pada tahun 2019 sudah mencapai Rp 80 Triliun.
Angka tersebut belum termasuk kerugian immaterial yang belum bisa diukur. Perhitungan kerugian bencana yang dilaporkan sebenarnya masih belum akurat karena masih bersifat estimasi sederhana. Sampai saat ini belum ada pedoman ataupun standar akuntansi yang mengatur tentang akuntansi kebencanaan.
Kerugian bencana yang dihitung saat ini belum memasukkan semua komponen biaya yang semestinya diperhitungankan.
Dalam menghitung kerugian bencana perlu memperhitungkan: a) biaya kerusakan lingkungan dan infrastuktur publik; b) biaya kerusakan atau kehilangan aset; c) biaya rehabilitasi dan konstruksi; d) biaya bantuan korban bencana; e) biaya pencarian, penyelamatan dan evakuasi korban; f) biaya tanggap darurat; g) biaya perawatan medis dan psikologis korban; h) biaya oportunitas berupa hilangnya pendapatan dan terganggunya aktivitas perekonomian akibat bencana.
Adanya data kerugian bencana yang akurat penting untuk perencanaan keuangan negara dan manajemen risiko bencana. Sebab tanpa didukung data kerugian bencana yang akurat, maka keuangan negara rawan terjadi pemborosan, penyalahgunakan, penyelewengan, dan korupsi.
Baca juga: Rawan bencana bukan alasan Indonesia tidak maju
Perbaikan Tata Kelola Bencana
Banyak aspek yang perlu diperbaiki terkait tata kelola bencana, meliputi aspek manajemen, anggaran, regulasi, kelembagaan, dan pengawasan. Manajemen bencana perlu diperkuat mulai dari manajemen prabencana, saat bencana, maupun pascabencana.
Pemerintah perlu membangun sebuah sistem informasi terintegrasi yang mampu mengintegrasikan sistem informasi bencana dengan sistem informasi di Kementerian/Lembaga lain yang terkait, misalnya dengan sistem informasi kependudukan yang ada di Kementerian Dalam Negeri, sistem informasi kesejahteraan sosial di Kementerian Sosial, sistem informasi di Kementerian Kominfo, sistem informasi geografis (SIG) di BPS, dan sistem informasi PNPB online (SIMPONI) di Kementerian Keuangan.
Manajemen prabencana perlu lebih ditingkatkan melalui pengembangan sistem deteksi dini bencana, program pencegahan bencana, siaga bencana, dan program mitigasi. Aspek lainnya terkait anggaran bencana yang perlu dibuat mekanisme khusus terkait dengan pengajuan, penggunaan, pelaporan, dan pemeriksaan dana bencana. Karena sifat bencana yang sering tidak terduga dan butuh respon cepat maka birokrasi anggaran bencana perlu disederhanakan namun dengan tetap dilakukan pengendalian, pengawasan, dan audit yang memadai.
Penguatan tata Kelola bencana juga perlu didukung dengan kejelasan dan kelengkapan regulasi. Seringkali dijumpai kepala daerah yang gamang dalam menetapkan status darurat bencana di daerahnya karena terkendala aturan.
Saat ini terdapat beberapa regulasi terkait penanggulangan bencana, yaitu UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dan PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengeloaan Bantuan Bencana.
Regulasi di bidang tata Kelola bencana perlu dilengkapi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam bentuk peraturan di tingkat Menteri untuk memberikan pedoman teknis dalam bertindak di lapangan.
Baca juga: Pemerintah perlu didik masyarakat siap hadapi bencana
Efektivitas Anggaran Bencana
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah perlu menyediakan alokasi anggaran yang memadai untuk penanggulangan bencana.
Saat ini alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana tergolong kecil. Sebagai contoh, tahun 2020 dana tanggap bencana dialokasikan sebesar Rp5 triliun. Anggaran bencana tersebut memang sudah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Selama ini alokasi anggaran bencana belum efektif sebab belum terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik di antara lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dalam menanggulangi bencana. Kurang efektifnya anggaran bencana disebabkan sifatnya masih parsial atau terpisah-pisah, belum memiliki standar belanja yang baku, dan belum memiliki ukuran kinerja yang komprehensif.
Anggaran bencana yang parsial tersebut terlihat dari pembagian alokasi anggaran yang selama ini dilakukan. Untuk dana mitigasi bencana, anggaran dialokasikan ke Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Sementara itu, untuk dana tanggap bencana dialokasikan ke BNPB, Kementerian PUPR, dan Kementerian Sosial.
Adapun dana rehabilitasi dan rekonstruksi dialokasikan melalui Kementerian PUPR atau badan khusus yang ditugaskan untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi. Anggaran bencana yang tersebar ke berbagai K/L tersebut tentunya akan sulit dilakukan pengukuran kinerja jika tidak ada road map penanggulangan bencana yang terintegrasi.
Kurang efektifnya anggaran bencana juga disebabkan dana tersebut lebih banyak digunakan untuk kegiatan tanggap darurat bencana. Sementara itu alokasi anggaran untuk pencegahan dan mitigasi bencana masih minim. Anggaran bencana yang disediakan APBN sebagaimana disebutkan dalam PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengeloaan Bantuan Bencana terdiri atas dana kontinjensi bencana, dana siap pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah.
Pemerintah perlu menambah anggaran untuk mitigasi bencana, sebab apabila pencegahan bencana dilakukan dengan baik, maka akan dapat mengurangi dampak bencana secara signifikan sehingga biaya tanggap darurat dan pemulihan pascabencana bisa diminimal.
Di sisi lain pemerintah juga perlu mempersiapkan anggaran yang cukup untuk rehabilitasi, rekonstruksi, dan pemulihan pascabencana agar perekonomian dan aktivitas publik bisa segera bangkit dan normal kembali, sebab jika penanganan pascabencana lambat maka tentunya perekonomian tidak akan segera pulih dan akan semakin banyak masalah sosial yang muncul.
Hendaknya paket anggaran bencana dalam tiga program meliputi prabencana, tanggap darurat, dan rekonstruksi dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian publik bisa ikut mengawasinya.
Pengawasan atas penggunaan dana bencana juga penting untuk ditingkatkan. Anggaran bencana sangat rawan diselewengkan karena sifat penggunaan yang tidak melalui mekanisme anggaran yang biasa. Penanganan bencana menuntut kecepatan respon dan penyaluran bantuan kepada korban.
Namun meskipun anggaran bencana diberikan mekanisme khusus, pengawasan atas penggunaan anggaran bencana mutlak diperlukan. Dalam hal ini perlu dilakukan pengawasan dan audit secara kontinyu.
Selain itu perlu juga diperkuat dengan audit kinerja atas anggaran bencana. Kasus terjadinya korupsi dana bantuan social dan dana rekonstruksi merupakan bukti masih lemahnya sistem pengawasan dan pengendalian dana bencana.
Baca juga: 150 juta warga Indonesia tinggal di daerah bencana
Kementerian Penanggulangan Bencana
Mengingat wilayah Indonesia secara keseluruhan memiliki risiko bencana yang tinggi, maka upaya untuk terus memperbaiki tata kelola kebencanaan perlu terus ditingkatkan. Perbaikan struktur dan proses tata kelola bencana hendaknya menjadi perhatian bersama.
Penguatan struktur tata Kelola kebencanaan perlu dilakukan melalui penguatan struktur kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan mitigasi dan penanggulangan bencana, perbaikan data dan sistem informasi bencana, perluasan sistem peringatan dini bencana, perbaikan jaringan dan infrastruktur pendukung, dan penguatan kapasitas personil yang terlibat dalam manajemen bencana.
Di samping penguatan struktur tata kelola bencana, pemerintah perlu selalu mengevaluasi dan memperbaiki proses tata kelola bencana. Proses tata kelola bencana harus selalu dimonitor dan dievaluasi mulai dari analisis risiko bencana, respon atas risiko, pencegahan dan mitigasi, proses penyelamatan, evakuasi, hingga tahap pemulihan yang kesemuanya itu perlu dibuat panduan baku, prosedur operasional standar (SOP), dan standar kinerja yang jelas.
Hal tersebut penting untuk mencegah agar tidak terjadi kesalahan ataupun keterlambatan dalam merespon bencana yang berakibat semakin banyak korban dan kerugian yang timbul. Perlu dirumuskan road map (peta jalan) penanggulangan bencana yang berisi strategi dan program penanggulangan bencana secara komprehensif dan terintegrasi yang disertai dengan transparansi dan akuntabilitas anggaran serta kejelasan pengukuran kinerjanya.
Terkait dengan kelembagaan, saat ini unit kerja utama yang ditugasi melakukan penanganan bencana adalah BNPB di pemerintahan pusat dan BPBD di pemerintah daerah propinsi dan kab/kota.
Selain BNPB dan BPBD, terdapat kementerian atau lembaga negara yang mendukung kerja BNPB, yaitu Kementerian Sosial, Kementerian PUPR, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di bawah Kementerian ESDM, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Palang Merah Indonesia (PMI), TNI/POLRI, Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, BAZNAS Kemenag, dan Dinas Pemadam Kebakaran di daerah.
Lembaga-lembaga tersebut perlu ditata agar mekanisme kerjanya lebih terstruktur, sistematis, dan efektif. Perlu dipetakan lembaga mana saja yang berperan utama dalam prabencana, tanggap darurat, dan pemulihan pascabencana.
Dengan struktur kelembagaan yang saat ini ada terkesan penanggulangan bencana tidak bersifat integratif, namun parsial dan seringkali terjadi masalah dalam koordinasi, komunikasi, serta komando. Penanganan bencana yang komprehensif tentu tidak cukup ditangani secara sporadis dalam level gugus tugas yang sifatnya ad hoc.
Perlu dikaji untuk membuat suatu kementerian ataupun unit kerja di bawah kementerian yang memiliki tugas khusus melakukan manajemen bencana. Beberapa negara yang lebih kecil dari Indonesia dilihat dari aspek risiko kebencanaan bahkan memiliki menteri khusus di bidang manajemen bencana, misal Bahama, Bangladesh, Rwanda, Uganda, dan Jepang.
Mengapa perlu Kementerian Penanggulangan Bencana? Sebab dengan dinaikkan kelembagaannya dari badan menjadi kementerian, maka penanganan bencana akan lebih fokus, komprehensif, dan terintegrasi karena memiliki kewenangan dan anggaran yang lebih besar. Selain itu dengan ditangani kementerian, maka dukungan personil, pembiayaan, dan prasarana akan semakin lengkap dan memadai.
Koordinasi dan kerja sama lintas kementerian dalam penanganan bencana tentunya juga akan lebih mudah dan cepat dilakukan dibandingkan jika penanggulangan bencana dilakukan lembaga pemerintah non-kementerian dalam bentuk badan penanggulangan bencana.
Pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana dalam level kementerian juga menunjukkan urgensi atas permasalahan bencana yang perlu diurus secara serius, terus-menerus, komprehensif, dan terintegrasi. Sejalan dengan isu akan dilakukannya reshuffle kabinet, diskursus perlunya pembentukan kementerian penanggulangan bencana perlu dikaji oleh pemerintah.
* Dr. Mahmudi Analis Kebijakan Publik dan Pemerintahan, Dosen Universitas Islam Indonesia
Copyright © ANTARA 2021