Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pengamat media di Jakarta, Sabtu, mempertanyakan kewenangan Komite Penyiaran Indonesia (KPI) menegur sejumlah stasiun televisi dan mereka menolak usulan KPI mengubah program infotainment dari faktual menjadi nonfaktual.

"KPI sudah tidak mempunyai kewenangan lagi untuk menegur dan memberikan sanksi apa pun," kata Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Marah Sakti Siregar.

Marah Sakti meragukan anggota KPI memiliki keberpihakan kepada kemerdekaan pers sebagai amanah bangsa ini. Teguran-tegurannya kepada banyak program berita menjadi indikator sikap tersebut.

Menurut dia, penghentian program berita Metro TV disertai dengan sanksi kepada redaksi untuk menyampaikan permohonan maaf adalah tindakan penghinaan kepada media televisi nasional.

Padahal, Metro TV yang telah memberi kontribusi besar kepada masyarakat Indonesia dalam mengikuti persoalan-persoalan politik di tanah air.

Marah Sakti juga menolak usulan KPI untuk mengubah tayangan infotainment dari semula faktual menjadi non-faktual. Dengan usulan itu berarti infotainment harus disensor oleh LSF sebelum ditayangkan.

"Padahal, tidak ada satu pasal pun dalam UU Penyiaran yang memberi kewenangan untuk mengatur produk karya jurnalistik," tegasnya.

Sejak tahun 2005 PWI Pusat telah memberi pengakuan infotainment adalah karya jurnalistik, dan pekerjanya dapat diakomodasi sebagai anggota PWI.

Sementara itu, Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat Asro Kamal Rokan mengatakan, dalam UU Pers No 40/ 99 tidak ada sensor untuk karya jurnalistik.

"Apabila infotainment tersebut melakukan pelanggaran kode etik silahkan adukan kepada Dewan Pers. Kalau melanggar hukum silahkan adukan ke pihak yang berwajib. Tapi, melarang, mengubah status infotainment, selain bukan wewenang KPI, tapi juga terutama tindakan itu bisa melanggar undang undang," kata Asro.

Pemberitaan infotainment, katanya, merupakan domain Dewan Pers. Apabila ada pelanggaran kode etik dan kepantasan, Dewan Pers dapat menegur infotainment tersebut. Sedangkan terhadap wartawannya, apabila melanggar kode etik, maka organisasi wartawan seperti PWI, yang mengambil tindakan.

"Kita tidak menutup mata atas pemberitaan sejumlah infotainment yang tidak etis dan tidak sesuai kepantasan, namun menyangkut isi pemberitaan, itu wewenang Dewan Pers, bukan KPI," katanya.

Mengingatkan

Para praktisi media yang hadir mengingatkan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No OO5/PUU-1/2003 yang menghapus kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk membuat peraturan tentang sanksi administrasi kepada stasiun televisi, apalagi yang untuk siaran yang bersifat Jurnalistik.

Menurut Marah Sakti, amar keputusan MK No 05 tahun 2003 menyatakan pasal 66 ayat 1 dan 2 bagian anak kalimat "...KPI bersama...." dihilangkan.

"UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu sudah tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi," katanya.

Sedangkan dasar hukum menjatuhkan sanksi administratif adalah pasal 55 ayat 1 dan ayat 2. Padahal menurut ayat 3 pasal 55 KPI sudah tidak berhak menyusun dan memberi sanksi yang dimaksud.

Dengan demikian sebenarnya kini KPI tidak punya kewenangan untuk menegur dan memberikan sanksi apapun, demikian kesimpulan hasil diskusi.

(A017/Z002/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010