Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah, khususnya Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengusut tuntas penganiayaan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun.
"Pengusutan tersebut diperlukan agar tercipta ketenangan dan keadilan dalam masyarakat," kata Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Masudi saat menerima rombongan LSM ICW, Wahid Institute, LBH Jakarta, Imparsial, dan Transparansi Internasional Indonesia di kantor PBNU, Jakarta, Jumat.
Masdar meminta para pemimpin tak hanya bermain retorika atas berbagai permasalahan yang melanda negara ini yang sampai sekarang tak terselesaikan dengan baik seperti korupsi, kekerasan, atau terkuaknya skandal mesum.
Ia mencontohkan kasus kekerasan Front Pembela Islam (FPI) di Banyuwangi saat membubarkan acara sosialisasi pelayanan kesehatan yang dilakukan tiga anggota Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu yang juga tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.
"Belum ada tindakan kongkrit dari pengambil keputusan, hukum hanya jadi retorika. Kita kaya undang-undang, tapi tak ada implementasi," katanya.
Menurutnya, seorang pemimpin selain harus mematuhi hukum juga harus mampu melampaui hukum agar esensi hukum berupa keadilan dan ketertiban bisa ditegakkan.
Mengenai pemberitaan majalah Tempo tentang rekening "gendut" perwira Polri, yang diduga pemicu penganiayaan Tama yang adalah pelapor rekening itu kepada Satgas Mafia Hukum dan KPK, menurut Masdar, seharusnya yang tersinggung masyarakat, bukan polisi, terlebih jika laporan itu benar.
Sementara itu Ketua Dewan Etik ICW Bambang Widjojanto menyatakan, aksi kriminalitas terhadap aktivis semestinya tidak dipandang sebagai tindak kriminal biasa. Jika dilihat lebih jauh, dari sudut pandang konstitusi, hal itu menyangkut pentingnya rasa aman bagi seluruh warga negara.
"Karena itu perlu dilakukan audit terhadap sistem keamanan untuk menumbuhkan rasa aman," kata aktivis yang pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.(*)
S024/Z002/AR09
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010