Nusa Dua (ANTARA News) - Para karyawan Aston Bali Beach Resort & Spa di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali kecewa dengan sikap DPC Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Kabupaten Badung yang justru mendesak karyawan menyetujui pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sejumlah karyawan Aston Bali ketika ditemui ANTARA di Tanjung Benoa, Kamis, menyebutkan sebanyak 104 karyawan memilih mundur dari serikat pekerja sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap sikap pihak organisasi buruh tersebut.

Jumlah karyawan Aston Tanjung Benoa sebenarnya mencapai 360 orang, namun hanya sekitar 126 yang selama ini bergabung ke serikat pekerja. Di antara anggota serikat pekerja itu, dilaporkan 22 orang selain yang 104 tersebut, terlanjur menandatangani surat persetujuan PHK yang ditawarkan oleh pihak kurator.

Menurut Ketut Yudha, yang juga telah menyampaikan surat pengunduran diri dari jabatan Ketua Pengurus Unit Kerja (PUK) FSP Par Aston Tanjung Benoa, tidak ada gunanya menjadi anggota serikat pekerja jika organisasi itu tidak lagi membela kepentingan pekerja.

"Kami kecewa dan merasa disakiti, karena serikat pekerja justru mendukung upaya kurator untuk melakukan PHK. Karena itu kami memilih mundur dari keanggotaan serikat pekerja," ucap pria berusia 48 tahun yang bergabung di Aston Tanjung Benoa sejak 1997.

Kepastian pengunduran diri dari keanggotaan DPC FSP Par Kabupaten Badung, juga ditegaskan Gede Yudiana (45), Gede Wijana (40) dan sejumlah karyawan lainnya yang umumnya bekerja sejak awal pengoperasian hotel tersebut.

Menurut mereka, dalam beberapa kesempatan pertemuan, Ketua DPC FSP Par Kabupaten Badung Putu Satya Wira Mahendra, justru terus mendesak karyawan untuk menyetujui PHK.

"Hal itu selain bertolak belakang dengan misi serikat pekerja, juga menimbulkan keresahan dan kekecewaan di tengah kekisruhan yang sedang terjadi," kata Gede Yudiana yang didampingi sejumlah rekannya.

Menurut sejumlah keterangan, Aston Tanjung Benoa dilanda kekisruhan terkait kerancuan data hutang modal usaha yang berlanjut ditunjuknya kurator oleh Bank Mandiri selaku pemberi pinjaman modal dan putusan pailit dari Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.

Meski dilanda kekisruhan dan telah dinyatakan pailit, anehnya hotel tersebut tetap beroperasi melibatkan sekitar 340 karyawan lama di bawah manajemen pemilik langsung PT Dewata Royal International (DRI).

Menurut pihak manajamen di bawah kepemimpinan Beti Ancieli selaku kuasa direksi PT DRI, tingkat hunian hotel yang memiliki 187 kamar itu selama ini mencapai sekitar 90 persen.

Dari pemantauan di lokasi hotel, terlihat banyak tamu yang hilir-mudik maupun berada di lobi hotel, restoran, sekitar kolam renang hingga kawasan pantai. Areal parkir di seberang hotel juga dipenuhi mobil tamu maupun dari agen perjalanan.

Menurut salah seorang manajer hotel tersebut yang enggan disebutkan namanya, pendapatan sarana akomodasi tersebut rata-rata per bulannya tetap sekitar Rp5 miliar, dengan kebutuhan biaya operasional tidak kurang dari Rp3 miliar.

Para karyawan hotel tersebut umumnya berharap kemelut yang terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik didasari prinsip kebenaran dan menjunjung tinggi keadilan.

Selain itu, mereka juga mengingatkan agar pihak-pihak berwenang tidak melakukan keputusan tanpa dasar yang bisa turut mengancam keberlanjutan karyawan untuk dapat terus bekerja.

(T007/J006/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010