Jakarta (ANTARA) - Pendidikan dan sosialisasi untuk melawan radikalisme dan terorisme kepada anak muda milenial sangat penting apalagi di massa teknologi internet kini, karena pandangan-pandangan yang ekstrem berbasis kekerasan dan terorisme membahayakan bagi kehidupan bersama.
Untuk itu, semua pihak dengan fungsi edukasi harus terus memberikan wawasan kepada para generasi milenial terkait masalah ini.
Salah satu upaya melawan narasi-narasi radikalisme dan terorisme adalah dengan memperkuat pandangan moderat.
Input dan masukan yang benar tentunya sangat dibutuhkan agar pandangan yang moderat, "wasathiyah", bervisi masa depan terus dikumandangkan agar bisa masuk dan menyebar seluas-luasnya ke kalangan milenial.
Tantangannya memang adalah bagaimana agar pesan ini bisa menjangkau anak milenial. Untuk itu perlu dilakukan sejumlah langkah-langkah dalam menyebarluaskan dan menanamkan pandangan moderat.
Pertama, tentu media sosial itu menjadi sarana yang sangat krusial dan menjadi sarana yang sangat strategis untuk menjadi "channel" bagi penyalur gagasan-gagasan keagamaan yang moderat ini bisa tersampaikan kepada mereka.
Kedua, dalam menyampaikannya harus ada aspek memagari agar mereka (milenial) tidak menjadi korban. Dengan cara mempersempit ruang gerak dari konten-konten yang sengaja disebarkan oleh para aktor-aktor kelompok radikal ekstrem kekerasan maupun kelompok teroris yang menjangkau ke anak muda.
Memang perlu disesuaikan dengan target grupnya. Nah ini tentunya menjadi tantangan tersendiri buat kaum akademisi dan juga bagi para tokoh-tokoh agama untuk membahasakan gagasan-gagasan ini yang mudah dicerna oleh kaum milenial.
Berdasarkan dari survei-survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian, anak milenial ini sudah jauh termakan oleh gagasan-gagasan yang demikian yang jumlahnya cukup signifikan. Untuk itu perlu dipagari dan perlu mencari cara yang tepat untuk menghindarkan mereka dari sebaran virus-virus radikalisme ini.
Selama ini penanaman moderasi beragama dari paham kekerasan ini banyak menjadi konsumsi akademisi dan kaum intelektual sehingga kaum milenial ini sulit menerima.
Berikutnya, perlu membuat konten-konten yang terkait dengan pesan-pesan yang umum seperti mengenai pentingnya hidup bersama, pentingnya menjaga kehidupan yang damai bagi hidup bersama sebagai bangsa maupun sesama umat manusia.
Ini penting dilakukan secara simultan, dari level yang paling bawah untuk milenial atau yang baru kenal atau baru mau belajar agama untuk mendapatkan pesan-pesan yang sederhana, pesan-pesan yang singkat dan pendek seperti dengan penyebaran flyer-flyer atau video-video pendek.
Hal ini masih kurang didengungkan ke kalangan milenial. Konten-konten moderat masih sangat minoritas dibanding dengan konten-konten yang berseliweran di media sosial yang lebih yang lebih bercorak ke arah radikal itu.
Untuk itu, pemerintah perlu didorong guna memperkuat upaya ini.
Untuk level kedua, adanya konten-konten yang lebih "berat", yaitu penjelasan mengenai dalil-dalil dalam kitab suci yang bisa memberikan peneguhan dan pembenaran bahwa paham keagamaan yang moderat adalah yang benar, sesuai dengan Islam yang asli.
Konten-konten ini lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan dengan konten pertama tadi. Dalam hal ini memang peran para ustaz, para tokoh agama, para intelektual untuk menyediakan konten-konten yang berisi argumen, hujjah dan dalil-dalilnya.
Jadi sudah harus menghadirkan dalil-dalilnya yang memberikan landasan bagi kebenaran Islam moderat itu, "Islam wasathiyah", agama yang moderat itu. Itu untuk yang level menengah.
Level yang lebih tinggi atau ketiga, yaitu kerja para intelektual berupa penerbitan penerbitan buku yang mengupas pentingnya moderasi agama dari berbagai tinjauan, baik dari sisi sosial, psikologi, ekonomi, politik, kebudayaan dari tentunya juga dari sisi peradaban Islam.
Karena peradaban kebudayaan dan peradaban Islam itu hanya bisa dibangun dengan pendekatan keagamaan yang "wasathiyah", moderat.
Sejarah telah membuktikan itu. Karena semua bentuk ideologi yang mengarah kepada kekerasan dan teror itu sejak jaman dulu selalu menghasilkan kehancuran.
Argumen-argumen yang lebih berpendidikan itu perlu terus ditulis dalam bentuk penelitian-penelitian dan buku-buku. Ini untuk level yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, diingatkan pentingnya influencer yang bisa masuk untuk menarik anak generasi milenial ini, diperlukan narasumber tokoh-tokoh muda, ustad muda, kiai muda yang menurutnya bisa untuk lebih diterima kalangan milenial.
Milenial inikan juga banyak, levelnya bertingkat-tingkat. Ada yang beginners (pemula) dalam beragama dan ada yang sudah mulai ingin mendalami dan ada pula anak muda yang membutuhkan asupan keagamaan dalam bentuk yang lebih intelektual akademik.
Mereka itu sudah tidak lagi berpikir siapa yang menyampaikan, tetapi sedalam apa dan sekuat apa argumen dari konten yang mereka baca.
Sementara itu, pintu masuk pemahaman keagamaan apakah dia akan jadi moderat atau radikal itu bisa berasal dua sumber.
Pertama dari pembelajaran di kelas baik itu melalui kurikulum resmi dan yang kedua dari proses pembelajaran di luar kelas, misalnya dalam kegiatan-kegiatan di rohani Islam, Rohis.
Untuk itu perlu dilakukan evaluasi dan revisi pembelajaran mata pelajaran agama di kelas dan juga kegiatan-kegiatan di luar kelas, ekstrakurikuler, termasuk kegiatan di masjid di mushola, liqo’- liqoq, rohis ,dan di ceramah-ceramah, informal yang bisa menjadi pintu masuk yang harus diwaspadai dari kalangan anak muda SMP, SMA.
Kedua, peran orang tua atau wali murid juga sangat penting. Untuk itu, orang tua juga perlu memahami tentang agama.
Ini penting sebagai pengetahuan untuk membuat pembeda terhadap mana pemahaman keagamaan yang sehat atau "wasathiyah" itu dengan yang melenceng seperti radikal, intoleran, ekstremisme kekerasan sampai dengan yang kekerasan bersenjata.
Untuk itu masyarakat yang masih awam termasuk orang tuanya juga perlu diberikan pencerahan tentang pemahaman agama yang benar dan pemahaman agama yang melenceng.
* Oleh Dr H Muhammad Imdadun Rahmat S Pd I MSi, Rektor Institut Agama Islam Sahid juga Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Dosen Pasca Sarjana bidang Kajian Terorisme di Universitas Indonesia
Copyright © ANTARA 2021