Suap merupakan tindak pidana bagi pemberi maupun penerima tetapi sanksi hukum tidak berlaku jika penerima melaporkan kepada KPK
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diwakili Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) menyebutkan perilaku suap masih menjadi modus utama pelaku usaha di Indonesia.
"Berdasarkan data perkara tindak pidana korupsi ditangani KPK yang melibatkan pelaku usaha, baik itu yang dilakukan pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagian besar perilaku korupsi dari pelaku usaha itu berupa penyuapan," kata Direktur AKBU KPK Aminudin dalam keterangannya di Jakarta.
Hal itu disampaikan-nya saat menjadi narasumber dalam acara bertajuk "Directorship Program: No Corruption and No Gratification Sebagai Wujud Nilai Amanah IPC", yang diselenggarakan oleh Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II bertempat di salah satu hotel di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020 tercatat total 1.071 perkara terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara, Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 perkara, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) 36 perkara, perizinan 23 perkara, pemerasan 26 perkara, dan merintangi proses penindakan KPK 10 perkara.
Aminudin mengatakan sesuai Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas mereka.
Baca juga: Dua eks staf Menteri Kelautan didakwa bantu Edhy Prabowo terima suap
Baca juga: KPK menduga Anggota DPRD Jabar Ade Barkah terima suap Rp750 juta
Sementara, kata dia, pada Pasal 12B ayat 2 pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
"Suap merupakan tindak pidana bagi pemberi maupun penerima tetapi sanksi hukum tidak berlaku jika penerima melaporkan kepada KPK," ujar Aminudin.
Ia juga mengingatkan terkait pertanggungjawaban pidana korupsi oleh korporasi atau pelaku usaha, sejak lebih lebih empat tahun lalu sudah terbit Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 mengenai Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Oleh karena itu, ucap dia, KPK mendorong pelaku usaha mengikuti sertifikasi Ahli Pembangun Integritas (API) yang diadakan oleh KPK serta mengaplikasikan sistem manajemen antisuap di internal perusahaan dengan menggunakan prinsip ISO 37001 atau mengikuti pedoman KPK dalam Panduan Pencegahan Korupsi (CEK) untuk dunia usaha.
Sementara saat membuka acara, Direktur Utama Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Arif Suhartono menegaskan pihaknya selalu berusaha agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tak ada aturan yang ditabrak.
"Kami ingin berperan lebih banyak dalam perbaikan sistem logistik di Indonesia. Dalam setiap proses harus melalui aturan yang benar. Kami harus menerapkan 'Good Corporate Governance' (GCG) secara tepat. Di sini lah pentingnya berkomunikasi dan meminta masukan dari KPK sehingga apa yang kami lakukan meskipun tujuannya baik bila ada proses yang tak baik hasilnya akan tak baik," tutur Arif.
Sedangkan Komisaris Utama IPC Moermahadi Soerja Djanegara meminta semua jajaran PT Pelindo II untuk mencegah korupsi dan kecurangan atau "fraud" di internal perusahaannya dengan komitmen semua pemangku-kepentingan PT Pelindo II.
Baca juga: KPK buka penyidikan baru pencucian uang terkait perkara Eddy Sindoro
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021