"Memang secara kognitif para siswa kelas akselerasi bagus, tetapi karena kesibukan yang luar biasa akhirnya porsi kehidupan sosial ini kurang", katanya di Semarang, Senin.
Menurut dia, berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan siswa reguler.
Selain itu, kata dia, dari sisi internal, kelas akselerasi lebih terlihat ekslusif dan membuat siswanya merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam sekolah.
Persoalan lain, kata dia, ada beberapa siswa yang masuk kelas akselerasi bukan karena keinginannya tetapi orang tua sehingga bagi siswa seperti itu proses belajarnya tidak bisa maksimal dan tentu juga berdampak terhadap hasilnya.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, kata dia, sekolahnya membuat berbagai program seperti ekstrakurikuler yaitu "Live In", kemah sosial, karya wisata, dan lomba antarkelas.
Ia mengharapkan, program itu membuat siswa akselerasi lebih mengenal dan membaur dengan siswa reguler, bahkan dapat mengembangkan solidaritas sehingga tidak timbul kelompok-kelompok di dalam sekolah.
Ia mengatakan, program kelas akselerasi memang masih sedikit peminatnya.
"Mungkin karena memang minat siswa yang kurang atau karena persyaratan yang cukup sulit," katanya.
Di sekolahnya, kata dia, siswa yang ingin memasuki kelas akselerasi harus lulus tes akademis dan psikologi, nilai rapor kelas VII hingga kelas IX rata-rata harus 8.
"Hal tersebut terbukti, dari jumlah 435 siswa yang di terima di SMAN 3 Semarang, untuk kuota kelas akselerasi 20 tempat duduk, hanya sekitar 13 persen siswa yang mengikuti tes psikologi untuk memasuki kelas akselerasi," katanya. (*)
H015/M029
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010