Sejak awal masa tugasnya hingga mendekati masa akhir, KPU selalu mengalami ujian kepercayaan atas kemandiriannya.
Saat Pemilu 2009 berlangsung banyak pihak meragukan kinerja KPU, yang paling menonjol berkaitan dengan pemutakhiran data pemilih. KPU dianggap tidak maksimal dalam melakukan pemutakhiran data pemilih sehingga menyebabkan warga negara yang telah memenuhi syarat, kehilangan hak pilihnya.
Panitia Khusus Hak Angket tentang daftar pemilih tetap (DPT) menyatakan, KPU bertanggung jawab terhadap permasalahan DPT dan merekomendasikan pemberhentian anggota KPU yang terlibat dalam persoalan DPT. Namun, rekomendasi Pansus tidak dapat ditindaklanjuti karena UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak memberikan ruang.
Penyelenggaraan Pemilu 2009 secara keseluruhan mendapatkan nilai yang tidak baik. Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan kualitas penyelenggaraan Pemilu 2009 relatif lebih buruk dibandingkan 2004.
"Meskipun secara umum pemilu berlangsung damai dan tanpa gejolak politik yang berarti, namun sulit dipungkiri bahwa realitasnya Pemilu 2009 diwarnai `kisruh` yang bersumber pada ketidaksiapan KPU," katanya.
Ia menilai profesionalitas dan kompetensi anggota KPU tidak begitu baik, manajemen penyelenggaraan pemilu yang tidak terkoordinasi, dan kepemimpinan KPU yang lemah.
Kelemahan-kelemahan penyelenggara pada Pemilu 2009 ini menjadi alasan untuk memperbaiki UU 22/2007 yang menjadi inisiatif dari DPR untuk menghasilkan penyelenggaraan pemilu yang lebih profesional dengan kemandirian yang selalu terjaga.
Namun saat revisi UU ini sedang disiapkan, berita mengejutkan datang dari anggota KPU Andi Nurpati yang namanya masuk dalam kepengurusan Partai Demokrat 2010 sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik. Andi memutuskan hengkang dari KPU di saat masa kerjanya belum berakhir.
Kejadian ini menyulut kembali ketidakpercayaan terhadap KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri dan profesional. KPU dituduh tidak independen karena salah satu anggota perempuannya, bergabung dengan partai politik pemenang Pemilu 2009.
Kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan alasan Andi Nurpati meninggalkan KPU dan apakah ada hubungannya dengan kemenangan Partai Demokrat. Andi pun angkat bicara, ia menegaskan bahwa kepindahannya ke partai adalah murni atas keinginannya untuk bergelut di dunia politik dan Partai Demokrat memberikan kesempatan tersebut.
Ia juga membantah tuduhan dirinya berpihak dan menguntungkan pada Partai Demokrat. Ia mengatakan kemenangan Partai Demokrat tidak ada hubungannya dengan penyelenggara pemilu, khususnya dengan dirinya.
"Di mana letak kelebihan saya untuk melakukan hal sebesar itu," kata Andi.
Masalah Andi ini kemudian dibawa ke Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan KPU telah merekomendasikan agar Andi diberhentikan sebagai anggota KPU karena melakukan pelanggaran Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan Peraturan KPU nomor 31 tahun 2007 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Andi dinyatakan telah melanggar UU karena bergabung dalam partai politik dan turut bertanggung jawab terhadap keluarnya surat KPU Nomor 320 untuk Pilkada Tolitoli yang melanggar ketentuan dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.
Saat ini Andi telah dinonaktifkan sebagai anggota KPU. Rekomendasi Dewan Kehormatan ini akan ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan KPU tentang pemberhentian sementara Andi Nurpati sebagai anggota. Andi diberhentikan sementara hingga surat Keputusan Presiden tentang pemberhentian tetap Andi dikeluarkan.
Namun, pemberhentian Andi ini belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik. Koordinator Nasional Komite Pemilih Pemilu (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan citra KPU terlanjur rusak. KPU dilihat seakan hanya menjadi jembatan bagi anggotanya untuk masuk ke dunia politik.
"Ini preseden buruk bagi penyelenggara pemilu," katanya.
Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (CETRO) Hadar Nafis Gumay. Ia mengatakan kejadian ini telah tegas menunjukkan KPU tidak profesional. Seharusnya Andi menunggu hingga masa kerjanya berakhir untuk kemudian bergabung dengan partai.
"Andi telah merusak KPU," katanya.
Revisi UU
Selain mempengaruhi kepercayaan masyarakat, langkah Andi juga berdampak pada revisi UU 22/2007. Akibat keputusannya bergabung dengan partai, muncul wacana untuk mengunci langkah anggota KPU di masa mendatang agar tidak `melompat` ditengah jalan.
Hadar Gumay menyarankan agar ada pemberian sanksi bagi anggota KPU yang berhenti di tengah jalan, meninggalkan kewajibannya demi kepentingan pribadi atau golongan.
Rekan kerja Andi, anggota KPU I Gusti Putu Artha turut angkat bicara tentang sanksi yang dapat diberikan, pertama adalah diberhentikan dengan tidak hormat. Kedua, wajib mengembalikan uang kehormatan selama menjabat, ketiga, tidak boleh menduduki jabatan politik dan jabatan publik sampai dengan kurun waktu minimal tiga tahun setela mundur, dan keempat, jika kedua ketentuan tersebut dilanggar maka akan dikenakan sanksi pidana.
Wacana ini direspon oleh Komisi II DPR. Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairuman Harahap mengatakan wacana ini akan dibahas. Bentuk sanksi yang dimungkinkan yakni pidana, denda, atau dengan mengembalikan semua uang kehormatan yang digunakan selama menjabat sebagai anggota KPU.
"Kita akan bahas apakah perlu sanksi pidana, denda, dan mengembalikan seluruh uang yang diterima," katanya.
Disamping soal sanksi bagi anggota KPU yang tiba-tiba berhenti, poin yang paling menonjol yang dibahas dalam revisi UU ini, pascakasus Andi adalah keterlibatan partai politik sebagai anggota KPU.
Peristiwa masuknya Andi sebagai pengurus partai politik mendapat kecaman dari sejumlah partai politik yang mempertanyakan independensi dan profesionalitas Andi. Kondisi ini kontras dengan usulan sejumlah fraksi di DPR agar partai politik diberikan ruang untuk mencalonkan anggota KPU.
Pengamat LIPI Syamsuddin Haris mengingatkan sesuai amanat konstitusi, KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Maka, independensi harus diperkuat. Ia mengatakan keterlibatan partai politik pada tingkat apapun sebagai penyelenggara pemilu harus ditolak.
"Kita memiliki komitmen mempertahankan dan memperkuat independensi KPU. Tidak ada jaminan bahwa anggota KPU dari parpol bisa bersikap nonpartisan dalam penyelenggaraan pemilu," katanya.
Jeirry Sumampow, mengatakan, wacana anggota KPU diusulkan dari partai politik tidak realistis dan mengancam independensi lembaga tersebut.
"Kalau anggota KPU dari atau diusulkan oleh parpol, saya kira ini merupakan kemunduran dari sistem pemilu kita," katanya.
Menurut dia, KPU adalah lembaga yang independen dan mandiri. Jika anggotanya diusulkan dari partai maka dikhawatirkan independensi dan kemandirian KPU akan terganggu, sehingga merusak pemilu.
Namun, Chairuman berpendapat berbeda. Menurut dia, semua warga negara memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan publik. Apabila calon dari partai ini terpilih sebagai anggota KPU, maka yang bersangkutan harus mundur sebagai partai dan wajib profesional serta tidak berpihak.
Wacana soal anggota KPU berasal dari parpol atau diusulkan oleh partai ini belum mencapai kesepakatan di tingkat Panitia Kerja DPR. Ada perbedaan pandangan diantara fraksi tentang masalah ini.
Kepastian tentang klausul tersebut akan diperoleh setelah masa reses DPR berakhir. Panja harus segera membuat keputusan sehingga revisi UU ini dapat diselesaikan pada 2010 ini.
Pada akhirnya tidak bisa dipungkiri bahwa kepergian Andi Nurpati membawa dua dampak sekaligus yakni negatif dan positif. Dampak negatif bagi KPU dan dirinya, tetapi positif bagi perbaikan aturan kebijakan tentang penyelengara pemilu di masa mendatang.
Tinggal selangkah lagi bagi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah diberhentikan sementara, Andi Nurpati, untuk bergelut dengan dunia politik dalam naungan Partai Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik. Namun, disisi lain pembuat kebijakan harus bekerja lebih keras untuk menutup kekosongan hukum dan memperkuat hakikat kemandirian di tubuh KPU.
(T.H017/P003)
Oleh Oleh Heppy Ratna
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010