Jakarta (ANTARA) - Para dokter di Indonesia melalui Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) saat ini berjuang bisa memberikan profilaksis atau prosedur kesehatan untuk mencegah penyakit khususnya pada pasien hemofilia, salah satunya agar tak sampai terjadi perdarahan berat yang bisa berujung cacat fisik permanen hingga kematian.
"Yang kami perjuangkan profilaksis yakni mencegah, biasanya pada anak-anak, jangan sampai dia mengalami perdarahan berat terutama sendi karena bagian tubuh yang selalu dipakai. Sendi paling sering lutut, sikut atau ankle. Agar kualitas hidup anak baik kita memberikan profilaksis," ujar Ketua HMHI sekaligus dokter spesialis anak di Departemen Medik Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Prof. dr. Djajadiman Gatot dalam diskusi via daring bertajuk "World Hemofilia Day 2021 - Profilaksis dan Tantangan Tata Laksana Hemofilia di Indonesia", Kamis.
Dalam kesempatan itu, dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Novie A. Chozie mengatakan, pemberian profilaksis memungkinkan pasien diobati tanpa harus menunggu perdarahan. Begitu anak mengalami perdarahan pertama dan terdiagnosis hemofilia, profilaksis bisa dimulai.
Menurut Novie, pengobatan ini bisa diberikan pada anak berusia kurang dari satu tahun. Di Eropa, pasien anak berusia delapan bulan sudah masuk pertimbangan pengobatan ini.
Baca juga: Waspadai hemofilia yang tak ditangani bisa mematikan
Baca juga: Pertolongan pertama untuk hemofilia
"Bagaimana di Indonesia? karena masih baru mulai banyak faktor dipertimbangkan, kesiapan pemberian penyuntikan (karena diberikan intravena pada bayi kecil tidak mudah)," tutur Novie.
Hanya saja, profilaksis terkendala beberapa hal antara lain biaya yang mahal, masalah teknis dan belum memungkinkan untuk semua pasien hemofilia salah satunya mempertimbangkan berat badan tertentu.
Novie mengatakan, pengobatan nantinya diberikan sesuai berat badan. Jadi, walau dosisnya tidak terlalu tinggi tetapi bila berat bada anak besar maka kebutuhan obatnya juga menjadi banyak.
Hemofilia merupakan suatu kelainan akibat gangguan pembekuan darah yang 70 persen diturunkan secara genetik. Mereka dengan hemofilia bisa mengalami episode perdarahan yang lama dan bahkan tidak terkendali akibat benturan ringan ataupun tanpa benturan sama sekali.
Menurut Djajadiman, penyakit yang dibawa oleh gen ibu dan hanya diturunkan pada anak laki-lakinya itu paling banyak diidap penyandangnya adalah tipe A akibat kekurangan faktor VIII pembeku darah dibandingkan tipe B akibat kekurangan faktor IX. Perbandingannya sekitar 5:1.
Sebelum profilaksis, pengobatan pasien hemofilia antara lain dengan terapi pengganti memanfaatkan plasma manusia, rekombinan dari sel-sel hingga monoklonal antibodi yang memungkinkan sel membantu atau menghalangi proses tidak baik. Monoklonal antibodi ini bekerja menyerupai faktor VIII.
Djajadiman menuturkan, pengobatan yang diberikan tergantung pada kondisi pasien. Pada kasus yang berat, pengobatan diberikan secara intensif dibantu fisioterapi.
Kendala yang dihadapi selama pengobatan antara lain biaya yang mahal dan sulitnya pasien mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan mereka.
"Masih sulit bagi penyandang untuk mendapatkan pengobatan pas. Kebanyakan kurang misalnya harus mendapatkan 1000 unit dia hanya dapat 500 unit. BPJS menanggung biaya tetapi ada limit biaya pengobatan, kadang-kadang tidak sesuai dengan kebutuhan. Ini yang masih kami perjuangkan supaya bisa memenuhi kebutuhan," kata Djajadiman.
Baca juga: Polusi udara sebabkan jutaan kasus penyakit ginjal tiap tahun
Hidup dengan hemofilia
Hafizh Kalamullah, pria kelahiran tahun 1991 menjadi salah pasien yang terdiagnosis hemofilia sejak kecil atau setahun setelah kelahiran. Dia mengatakan, menjalani hidup dengan penyakit akibat gangguan pembekuan darah ini tak mudah.
Hafizh menyebut masa kecilnya sudah cukup menantang karena mudah mengalami perdarahan dan lebam usai melakukan aktivitas berat. Jatuh dengan benturan sedikit saja sudah bisa membuat lututnya bengkak dan tak bisa berjalan. Hal ini tentu berbeda dengan orang sehat pada umumnya.
Dia masih ingat, saat itu tidak bisa banyak bermain seperti anak-anak lain seusianya. Jangan bermain, tidak melakukan apa-apa saja sudah bisa memuculkan bengkak pada sendinya.
"Masa kecil paling menantang, tidak bisa banyak main. Tanpa terbentur juga bisa bengkak kalau yang sudah parah," kata dia.
Tak sebatas penyakit, pengobatan juga jadi tantangan tersendiri bagi pria lulusan Fakultas Ilmu Komputer di Universitas Indonesia itu. Awalnya dia harus menerima pengobatan plasma darah dengan jumlah kebutuhan hingga berkantong-kantong. Prosesnya juga relatif lama dan memunculkan risiko alergi. Hafizh bahkan sering bolos sekolah gara-gara ini.
Menurut Novie, pengobatan ini mengharuskan pasien 2-3 kali mendapatkan suntikan sehingga berpotensi menyebabkan kerusakan pada sendinya dan menyebabkan perdarahan berulang karena sudah ada kerusakan struktur dalam sendinya. Akibatnya pasien berisiko mengalami kecacatan misalnya tidak bisa berjalan.
Baca juga: RSUD Bekasi alami kelangkaan obat penyakit kronis
Tetapi seiring perkembangan ilmu medis, pengobatan sudah menggunakan konsentrat (dalam botol kecil yang disuntikkan pada pasien). Hanya saja kondisinya masih on demand atau sesuai kebutuhan. Saat pasien mengalami bengkak barulah dia bisa mendapatkan resep obat konsentrat.
Hafizh berharap, nantinya, seiring penerapkan profilaksis pengobatan hemofilia tak akan menunggu hingga pasien mengalami bengkak atau perdarahan dulu.
"Kami berharap ada kemajuan yang lebih baik lagi. Kalau sudah bengkak seakan darah penuh di kantong sendi baru diobati itu pengobatan jauh lebih lama, sudah sakit enggak bisa bergerak ujung-ujungnya, disuntik juga beberapa kali agar sembuh," kata Hafizh.
Hafizh mengatakan, seiring bertambahnya usia dia mulai bisa mengatur aktivitas sendiri termasuk jadwal kunjungan ke rumah sakit terkait obat. Menurut dia, disiplin berobat membuatnya bisa merasakan hidup seperti orang normal seperti menempuh studi, bekerja dan berkeluarga.
Terkait gaya hidup pasien hemofilia, Novie merekomendasikan mereka membatasi atau sebaiknya menghindari kegiatan fisik yang sifatnya kontak fisik seperti bela diri ataupun aktivitas yang berisiko terjadinya benturan misalnya sepakbola dan olahraga lainnya.
Khusus untuk makanan dan minuman, pasien harus memperhatikan asupan yang bergizi dan seimbang serta menjaga berat badan dalam batas normal.
"Obesitas tidak diharapkan, nanti sendi-sendinya akan terbebani lebih berat. Tidak obesitas saja mudah perdarahan bagaimana kalau obesitas. Kalau berat badan kurang atau gizi buruk otot-otot akan mengecil. Pasien diharapkan punya otot kuat. Pertahankan berat badan normal dan makanan makanan bergizi seimbang," demikian pesan Novie.
Baca juga: Hemofilia bukan perdarahan tak berhenti tetapi lebih lama
Baca juga: Mengenali gejala hemofilia
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021