"Masalah yang dihadapi Jiwasraya saat ini harus bisa menjadi titik balik dalam reformasi industri asuransi,” kata Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya R. Mahelan Prabantarikso dalam sebuah webinar bertajuk "Momentum Reformasi Industri Asuransi di Indonesia", di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, salah satu aspek yang harus ditekankan dalam industri asuransi adalah pentingnya penerapan tata kelola perusahaan, manajemen risiko korporasi, dan kepatuhan terhadap peraturan (governance risk compliance/GRC), sehingga terintegrasi dalam mencegah konflik kepentingan.
Mahelan menjelaskan, dirinya bersama jajaran manajamen baru Jiwasraya telah menemukan pelaksanaan manajemen risiko yang tidak optimal. Kondisi itu bahkan terjadi hingga masalah gagal bayar mencuat ke publik pada Oktober 2018.
"Di Jiwasraya, kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Karena itu penting terdapat GRC," ujar Mahelan.
Baca juga: DPR: Restrukturisasi Jiwasraya harus tepat sasaran dan manfaat
Ia menerangkan, tata kelola perusahaan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gagal bayar di Jiwasraya hingga menyebabkan ekuitas perusahaan yang menjadi negatif Rp38,7 triliun. Bahkan, isu tersebut turut terjadi di sejumlah perusahaan hingga membawa citra buruk bagi industri asuransi.
Berkaca dari kasus Jiwasraya, para pelaku industri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun akan menerapkan manajemen aset dan liabilitas (ALM) dan sepakat bahwa tata kelola menjadi sangat krusial untuk menggenjot pertumbuhan industri dengan lebih optimal.
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK, Moch. Ihsanuddin menjelaskan, ada penanganan khusus bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sedang bermasalah agar kondisi perusahaan segera membaik dan nasabah tidak menjadi korban.
"Pertama, kami fokus pendalaman, root cause sebetulnya masalah yang dihadapi perusahaan itu apa saja. Kami diskusikan bersama dengan manajemen, kalau perlu dengan pemegang saham, salah satunya mempelajari apakah ini masalah baru atau warisan," ujarnya.
Setelah akar permasalahan terpetakan, OJK bersama perusahaan terkait menyusun mekanisme atau solusi untuk menyelesaikan masalah. OJK pun turut menelaah dampak permasalahan perusahaan itu terhadap industri lembaga jasa keuangan terkait.
Baca juga: DPR desak pemerintah tuntaskan program restrukturisasi Jiwasraya
Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai.
Menurutnya, pengawasan terintegrasi bagi konglomerasi keuangan ataupun para individu perusahaan akan meningkatkan pengawasan bersama antar bidang, baik perbankan dan pasar modal, untuk memaksimalkan upaya penyelesaian perusahaan bermasalah
Ketiga, otoritas akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK).
Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas. "Kalau solusinya tidak bisa, regulator kan ada regulasi dan kami punya tanggung jawab. Kami jalankan sesuai aturan yang berlaku dan berikan sanksi, surat peringatan, pembatasan kegiatan usaha, ujungnya dicabut (izin usaha) jika tidak bisa diatasi penyebabnya," ujar Ihsanuddin.
Reformasi asuransi pun menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri. Ihsanuddin menyatakan bahwa langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis.
Dalam mendorong penguatan industri asuransi, pengawasan OJK akan diubah dengan berdasar kepada kaidah manajemen risiko dan tata kelola perusahaan. Selain itu, pengawasan pun akan mengantisipasi pengembangan teknologi dan produk-produk digital.
Baca juga: Anggota DPR ingin OJK selamatkan kinerja industri asuransi
Baca juga: OJK sebut digitalisasi bantu kembangkan industri asuransi
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021