Sanaa (ANTARA News/Reuters) - Gerilyawan Syiah di Yaman bagian utara menyerang rumah seorang kepala suku pro-pemerintah, yang mengakibatkan tiga orang tewas, kata pemerintah dan gerilyawan, Jumat.
Serangan itu merupakan kekerasan terakhir yang menodai gencatan senjata yang telah berlangsung lima bulan antara pasukan pemerintah dan gerilyawan utara.
Dalam sebuah pernyataan di situs beritanya, Kementerian Dalam Negeri Yaman mengatakan, gerilyawan menyerang rumah Ibnu Aziz, seorang kepala suku di daerah Harf Sufyan, Yaman bagian utara. Ia mendukung pemerintah dalam perang melawan kelompok gerilya.
Aziz selamat, namun tiga pengikutnya tewas dalam ledakan, kata pernyataan itu, dengan menambahkan bahwa pasukan keamanan berusaha menangkap mereka yang bertanggung jawab atas serangan itu.
Suku Ibnu Aziz adalah kelompok Syiah saingan dari kelompok Zaidi yang memerangi pemerintah. Bentrokan bersenjata antara kedua kelompok itu meningkat dalam dua bulan terakhir.
Kelompok Syiah Zaidi mengkonfirmasi serangan terhadap rumah kepala suku itu.
"Ibnu Aziz mendalangi sejumlah pembunuhan terhadap para pengikut kami dan menyebabkan beberapa warga tewas. Ia adalah orang yang memulai perang terhadap kami," kata seorang juru bicara kelompok itu.
Gerilyawan Syiah dan pemerintah menyetujui gencatan senjata untuk mengakhiri perang di kawasan utara pada Februari. Sejumlah gencatan senjata sebelumnya tidak berhasil ditegakkan.
Gencatan senjata yang mulai berlaku Jumat (12/2) itu merupakan upaya terakhir pemerintah untuk mengakhiri kekerasan bersenjata di wilayah utara yang telah menewaskan ribuan orang dan mengakibatkan 250.000 orang mengungsi.
Kelompok gerilyawan Zaidi atau Huthi, nama almarhum pemimpin mereka, berpangkalan di daerah pegunungan di perbatasan Arab Saudi, dimana mereka terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Yaman dan Saudi.
Pasukan pemerintah terlibat dalam pertempuran sporadis dengan kelompok Syiah itu sejak 2004.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh telah mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.
Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.
Yaman adalah negara leluhur pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.
AQAP menyatakan pada akhir Desember, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.
Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.
Sanaa menyatakan, pasukan Yaman membunuh puluhan anggota Al-Qaeda dalam dua serangan pada Desember.
Kedutaan Besar Inggris di Sanaa juga menjadi sasaran rencana serangan bunuh diri Al-Qaeda yang digagalkan aparat keamanan Yaman pada pertengahan Desember.
Sebuah sel Al-Qaeda yang dihancurkan di Arhab, 35 kilometer sebelah utara ibukota Yaman tersebut, "bertujuan menyusup dan meledakkan sasaran-sasaran yang mencakup Kedutaan Besar Inggris, kepentingan asing dan bangunan pemerintah", menurut sebuah pernyataan yang dipasang di situs 26Sep.net surat kabar kementerian pertahanan.
Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010