Jakarta (ANTARA News) - Allah SWT menciptakan manusia dalam beragam ras, suku bangsa, bahasa dan budaya, di mana manusia harus dapat memahaminya sehingga tercipta saling pengertian dan saling mengenal di antara mereka.
Alquran menyebutkan, Tuhan tidak mempersoalkan keragaman suku, bangsa, dan budaya, karena yang dinilai Tuhan hanya ketaqwaan manusia.
Alquran juga menyebutkan setiap sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan.
Ada orang yang memiliki pasangan hidup berparas cantik menawan, tapi ucapannya pedas nan menyakitkan, sementara sifatnya sombong dan judes. Tapi ada juga yang pasangan hidupnya berparas lumayan rupawan, sekaligus enak didengar dan lemah lembut tutur katanya, namun sayang boros.
Ada orang yang berparas biasa saja dengan tampilan fisik kurang menarik, sebaliknya pandai menyenangkan pasangan dan bahkan menurut orang-orang yang mengakrabinya dikenal pandai bergaul dan pandai mengatur keuangan, hanya saja malas beribadah.
Ada pula yang elok parasanya, sekaligus pandai, rajin beribadah, supel, serta sederhana dalam hidup.
Pokoknya macam-macam. Yang jelas, setiap orang pasti menginginkan hal unggul, baik dan sempurna, dari pasangannya. Sayangnya, betapa sulit mendapatkan kesempurnaan seperti yang kita tuntut kepada seseorang, apalagi kepada semua orang.
Nabi Muhammad bersabda, manusia itu layaknya unta. Sebagaiman dituturkan lagi oleh Bukhori, Nabi mengatakan, "Di antara 100 unta, kalian akan sulit menemukan seekor unta yang sangat baik tunggangannya."
Seorang istri sangat sulit mendapatkan suami yang diliputi semua hal positif dalam dirinya, seperti gagah, mulia, pemberani, dermawan, berilmu luas dan banyak beribadah, pandai mengendalikan amarah, pemaaf, romantis, berpenghasilan cukup, berprestasi dan berprestise.
Sebaliknya, seorang suami juga sama sulitnya mendapatkan istri yang cantik, sekaligus ramah, ceria, pandai menyenangkan suami, cekatan, terampil, sederhana, pandai mengatur keuangan, tidak banyak menuntut, dan rajin beribadah.
Kalau semua kesempurnaan itu ada pada seseorang, maka mungkin kita akan kehilangan asa untuk beramal dan beribadah, karena semua sudah ada pada kita.
Kita pun akan kehilangan berlatih sabar dan energi untuk memaafkan, serta kehilangan tekad untuk saling memberi nasihat dan peringatan. Pokoknya, kehilangan semua yang baik-baik.
Berkaitan dengan kekurangan seseorang, terutama pasangan hidup kita, Rasulullah mewariskan sebuah pesan, "Hendaknya mukmin tidak meninggalkan seorang mukminah. Ketika ia membenci suatu perangai dari pasangannya, dia pasti mencintai dan menyukai perangai yang lain yang dimilikinya."
Allah sendiri berfirman, "Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Annisa:19)
Senada dengan kalimat Nabi, Khalifah Umar bin Khatab berkata, "Aku tidak perduli dengan apa yang terjadi karena aku tidak tahu apakah kebaikan itu aku peroleh dari yang aku sukai atau dari yang aku benci."
Muslim yang ingin keberagamaannya meningkat, tentu akan memperhatikan isyarat-isyarat Alquran itu. Namun, dia tidak boleh membiarkan kekurangan dan kelebihan yang dikaruniakan kepadanya menumbuhkan kesombongan pada dirinya. Setiap muslim harus berupaya memperbaiki kekurangan dan meningkatkan hal-hal positif yang ada serta melekat padanya.
Itu adalah tugas hidup berpasangan, tugas hidup berumahtangga, dalam keluarga. Perbaikan harus juga dilakukan dengan penuh keikhlasan, berasas pada koridor kebenaran, dan dengan cara-cara yang hasanah mampu memupuk mawaddah warahmah.
Inilah gagasan "taawanu alal birri wat taqwa". Bersinergi dengan pasangan pada segala kelebihan dan kekurangan, akan menjadi wahana penggemblengan iman, sekaligus menjadi tempat menempa amal.
Kekurangan diciptakan Allah agar interaksi tidak menjadi sesuatu yang bersifat rutinitas, melainkan sebagai lahan beramal saleh dan memberi nasihat tentang kesabaran dan kebenaran yang sifatnya dinamis.
Muslim harus sadar benar bahwa tak ada manusia sempurna, sehebat dan sekuat apapun dia. Orang kuat disebut kuat lantaran ada orang lemah, yang pintar disebut pintar karena ada yang bodoh, yang kaya ada karena orang miskin, dan seterusnya.
Yang jelas, yang kuat membutuhkan yang lemah dan sebaliknya. Yang kaya butuh orangg miskin dan demikian sebaliknya. Yang pandai membutuhkan yang bodoh agar kepandaiannya bermanfaat untuk semua orang. Pesan khususnya, semua orang mempunyai ladang amal sesuai kemampuannya.
Dalam konteks profesi, keragaman profesi menjadi penting untuk saling memberi peluang amal dan berinteraksi sosial untuk saling memberi untung atau manfaat.
Itu sebabnya, pada manusia tidak ada kelebihan total, seperti halnya tidak ada kekurangan total pada dirinya.
Jika semuanya serba total, maka hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati kebahagiaan hidup, sementara yang lain harus menderita sepanjang hidupnya.
Untuk itulah yang terjadi pada kehidupan adalah bahwa setiap orang memiliki kelebihan, sekaligus mempunyai kekurangan. Kelebihan itu bukan untuk berbangga-bangga, sementara kekurangan itu ada untuk diperbaiki.
Dari sini, Tuhan menciptakan manusia tidak sama agar menjadi pelajaran bahwa untuk menghadapi kehidupan, tidak cukup diatasi sendiri, namun harus berbagi dengan sesamanya. Lebih-lebih dalam mengurus kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah menciptakan segala sesuatu dengan adil agar manusia tidak menjadi congkak.
Umar bin Khatab mengajarkan hal itu dengan menyampaikan pesan, "Aku tidak perduli dengan apa yang terjadi, karena aku tidak tahu apakah kebaikan itu aku peroleh dari yang aku sukai atau dari yang aku benci."
Sebuah pelajaran kerendahan hati dari seorang pemimpin yang mengerti batas-batas kemanusiaannya kepada siapa manusia kini, khususnya kaum muslim, patut memetiknya sebagai pelajaran dan ajaran hidup yang berharga.
*) Ketua Program Studi Pemikiran Islam, Universitas Islam Jakarta.
A008/T010/AR09
Oleh Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi *)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010