Oleh karena itu kami tetap optimis investor global tidak akan berpaling dari pasar saham Asia
Jakarta (ANTARA) - Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Samuel Kesuma memprediksi bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), masih belum akan melakukan pengurangan program pembelian aset atau tapering.
"Saat ini kami belum melihat risiko The Fed melakukan tapering karena komunikasi dari The Fed yang tetap akomodatif dan kondisi ekonomi Amerika yang masih dalam pemulihan," ujar Samuel melalui keterangan di Jakarta, Rabu.
Namun apabila tapering terjadi, lanjut Samuel, kondisi makroekonomi Indonesia saat ini dalam posisi lebih baik dibandingkan 2013 sehingga dapat lebih tangguh dalam menghadapi guncangan yang ada.
Defisit transaksi berjalan pada 2020 hanya 0,5 persen dari PDB, lebih rendah dari 3,2 persen pada 2013. Selain itu ekspor Indonesia saat ini sedang dalam tren pertumbuhan didukung ekspor kelapa sawit dan baja yang tumbuh signifikan, berlawanan dengan 2013 di mana kinerja ekspor menurun karena harga batu bara yang melemah.
Baca juga: Waspada, Analis: Imbal hasil obligasi AS masih berpotensi naik
"Berbagai metrik lain seperti inflasi, cadangan devisa, kepemilikan asing di pasar obligasi, dan sovereign rating Indonesia saat ini juga lebih baik dibanding 2013," kata Samuel.
Terkait risiko tersedotnya arus dana ke AS dari pasar Asia karena potensi pertumbuhan negara iru Samuel mengatakan pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam sebetulnya juga berdampak positif bagi negara Asia, terutama pada negara yang memiliki peranan penting dalam rantai pasokan global seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan.
Pemulihan ekonomi AS akan meningkatkan permintaan barang produksi dari negara-negara tersebut sehingga akan berdampak positif bagi ekonominya. Sebagai gambaran, peningkatan 1 persen PDB AS diperkirakan dapat meningkatkan PDB China dan Korea Selatan sekitar 0,12 persen.
Baca juga: OJK ingatkan investor lebih rasional berinvestasi di pasar saham
Selain itu beberapa negara Asia juga dalam kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibanding AS saat ini karena penanganan pandemi yang efektif sehingga ekonominya pulih lebih cepat.
Sebagai contoh China merupakan salah satu negara ekonomi besar yang penanganan pandeminya baik dan pemulihan ekonominya sangat cepat, di mana di kuartal I-2021 pertumbuhan ekonominya diperkirakan dapat mencapai kisaran 15-20 persen (yoy) dan untuk 2021 dapat mencapai kisaran 7-9 persen.
"Oleh karena itu kami tetap optimis investor global tidak akan berpaling dari pasar saham Asia," ujar Samuel.
Baca juga: BEI: Pasar modal dan saham syariah bakal terus tumbuh
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021