Lembaga keuangan perlu menerapkan manajemen risiko yang kuat dengan didukung informasi yang komprehensif untuk menilai risiko terkait iklim
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pemulihan ekonomi global dari dampak pandemi COVID-19 harus bersifat berkelanjutan yang berlandaskan transisi menuju ekonomi hijau.
Hal itu disampaikan dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional-Kelompok Bank Dunia Tahun 2021 (2021 IMF-WBG Spring Meetings) pada 5-11 April 2021 secara virtual.
"Transisi ini membutuhkan biaya yang sangat besar sementara pembiayaan publik di banyak negara saat ini diarahkan untuk penanganan pandemi," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyerukan mengenai realisasi kewajiban dukungan internasional kepada negara-negara berkembang sebesar 100 miliar dolar AS per tahun sesuai mandat UNFCCC dan Perjanjian Paris.
Tak hanya itu, negara-negara berkembang juga didorong untuk mengembangkan sumber pembiayaan inovatif sehingga perlu dibangun mekanisme pasar dan harga global yang dapat merefleksikan nilai emisi karbon secara nyata.
Hal itu harus dilakukan demi mewujudkan produk inovasi keuangan negara berkembang seperti Obligasi Hijau Konvensional atau Syariah atau Green Bond atau Green Sukuk yang mendapatkan apresiasi dengan nilai harga yang tepat.
Sementara bagi Indonesia, pemerintah telah memobilisasi instrumen pembiayaan inovatif seperti penerbitan Green Sukuk sejak 2018 untuk mendanai aksi perubahan iklim dan mendukung target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Selain itu, pemerintah juga membentuk Badan Layanan Umum Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk mengelola sumber daya keuangan lingkungan serta memfasilitasi pengembangan perdagangan dan pasar karbon atau carbon pricing.
Ia menjelaskan pemerintah saat ini sedang menyiapkan regulasi tentang carbon pricing yang akan menjadi panduan dalam menyusun kebijakan domestik dan kerangka kelembagaan untuk penetapan harga karbon.
Sri Mulyani melanjutkan transisi ekonomi hijau akan berimplikasi pada stabilitas dan inklusi keuangan sehingga perlu mengutamakan instrumen pembiayaan hijau dalam sistem keuangan.
Selain itu, lembaga keuangan perlu menerapkan manajemen risiko yang kuat dengan didukung informasi yang komprehensif untuk menilai risiko terkait iklim.
Sri Mulyani menekankan kolaborasi yang erat antar para regulator termasuk Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan untuk mendukung langkah-langkah tersebut.
Terlebih lagi, Sri Mulyani yang sekaligus Co-chair Koalisi Menteri Keuangan untuk Aksi Iklim turut mendorong negara-negara mempertimbangkan berbagai pilihan kebijakan termasuk penetapan harga karbon dalam rangka menekan emisi serta memacu pertumbuhan.
Menurutnya, setiap negara memiliki tantangan tersendiri dalam penanganan isu perubahan iklim sehingga patut mendapat dukungan jika terdapat negara yang melakukan reformasi, transformasi model bisnis, maupun mempromosikan proyek ramah lingkungan.
Terakhir, ia meminta kepada pihak swasta agar mengambil peran dalam aksi perubahan iklim seperti berpartisipasi untuk membeli Green Sukuk dan mengembangkan investasi yang lebih ramah lingkungan.
"Dengan kerja sama serta sinergi berbagai negara dan seluruh pemangku kepentingan di dunia maka upaya bersama dalam mengatasi tujuan ini diharapkan dapat tercapai demi menyelamatkan generasi selanjutnya," tegasnya.
Baca juga: Sri Mulyani tekankan pemulihan global harus seimbang di seluruh negara
Baca juga: ADB: Pertumbuhan harus beralih ke ekonomi hijau, cegah perubahan iklim
Baca juga: Bappenas ungkap ekonomi sirkular sumbang Rp642 triliun PDB
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021