pola terbaik yakni kolaborasi multipihak dengan mengedepankan langkah-langkah mitigasi
Palembang (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hebat tahun 2015 setidaknya menghanguskan 700.000 hektare lahan di Sumatera Selatan dan membuat udara diliputi kabut asap tebal hampir tujuh bulan.
Saat itu, semua pihak terkait bekerja sendiri-sendiri karena belum menemukan pola ideal dalam penanganan karhutla. Walau bantuan berdatangan, termasuk dari negeri tetangga tetap tak mampu mempercepat penanganan bencana di masa itu. Belum lagi muncul persoalan di dalam negeri sendiri, yang mana semua pihak saling menyalahkan.
Kini setelah berselang lima tahun, semua pihak menyadari bahwa pola terbaik yakni kolaborasi multipihak dengan mengedepankan langkah-langkah mitigasi.
Meski Sumsel belum mencapai ‘zero’ karhutla dalam beberapa tahun terakhir, tapi diakui terjadi penurunan signifikan kasus kebakaran.
Bahkan, Presiden Joko Widodo mengatakan sudah lima tahun terakhir isu karhutla di Indonesia tidak masuk dalam pembahasan di Konferensi Tingkat Tinggi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Salah satu wujud nyata kolaborasi itu, yakni kerja sama perusahaan dan masyarakat dalam menghalau karhutla melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA).
Heri Wibowo, petani binaan PT Bumi Persada Permai (BPP) dalam program DMPA di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, berhasil membudidayakan semangka di atas lahan miliknya hingga menuai hasil 20 ton.
Heri Wibowo yang telah dibina PT BPP sejak 2016 itu belum lama ini meraup pendapatan senilai Rp60 juta lebih dari hasil panen tersebut dengan memanfaatkan lahan seluas 1 hektare.
“Harga rata-rata semangka Rp3.000 per kilogram, jadi panen kali ini kami ada peningkatan pendapatan. Ini salah satunya berkat dukungan dari program DMPA sehingga saya dan kelompok tani bisa sukses dalam budidaya semangka,” kata Heri.
Ia mengatakan selama dalam pembinaan, kelompok taninya yang mendapatkan pendampingan dalam hal pembibitan, pemupukan, pemeliharaan hingga pemasarannya.
Tak hanya itu, warga desanya juga mendapatkan berkah dari program dari perusahaan pemasok Asia Pulp & Paper (APP) Sinar Mas ini karena dapat dilihat dalam berbagai kegiatan pasca panen. Setidaknya setiap panen, ia dapat merekrut 6-8 orang warga setempat untuk dijadikan buruh panen.
Hingga kini kami sudah 8 kali panen, dan kini banyak warga yang tertarik untuk turut budi daya semangka, kata dia.
Sebelum mengikuti program DMPA ini, Heri dihadapkan pada keterbatasan modal sehingga terpaksa menyewa lahan milik orang lain. Namun, sejak mendapatkan keuntungan berlipat dari perkebunan semangkanya itu, ia justru mampu membeli lahan yang lebih luas.
Mursalin, Kepala Unit HTI PT BPP mengatakan selain budi daya semangka, di Desa Pagar Desa juga terdapat program DMPA berupa pengelolaan pupuk kompos dan hortikultura. Kegiatan tersebut melibatkankan setidaknya 30 orang warga.
Melalui program DMPA, kami harapkan masyarakat mampu meningkatkan pendapatannya. Selain itu, dapat menjadi solusi pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang permanen, kata dia.
Program DMPA bertujuan mengajak dan membina masyarakat untuk mengelola lahan secara agroforestri, dan tidak melakukannya dengan cara dibakar. Selain itu, memberi kesempatan masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya.
Di Kabupaten Muba, saat ini program DMPA yang diinisiasi APP Sinar Mas bersama mitra pemasoknya telah berjalan di 31 desa dengan total penerima manfaat mencapai 500 KK.
Direktur APP Sinarmas Soewarso mengatakan penanganan bencana ini tidak bisa dilakukan tanpa adanya kolaborasi dan sinergi antarpemangku kepentingan.
Walau kejadian karhutla ini terus berulang, tapi sejatinya para pemangku kepentingan terutama perusahaan selalu belajar dan berupaya untuk menemukan pola terbaik dalam penanganannya.
Sejauh ini, pencegahan kebakaran berbasis kemasyarakatan menjadi pilihan yang paling tepat karena sebenarnya karhutla ini dipicu oleh aktivitas manusia.
Adanya aktivitas masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakar ditengarai menjadi penyebab salah satu penyebab karhutla.
“Saat musim kemarau, terkadang warga masuk hutan untuk menangkap ikan yang tersisa di lebung. Selama berminggu-minggu itu, tentunya ada aktivitas seperti memasak dan lainnya,” kata dia.
Untuk itu, Soewarso mengajak semua pihak untuk bergotong royong mencegah karhutla ini. Apa yang sudah dicapai, yang mana terjadi penurunan kasus karhutla bukan malah membuat lengah semua pihak tapi malah membuat lebih waspada lagi.
Baca juga: BRGM terus sosialisasi di tingkat tapak pencegahan karhutla
Lahan tak produktif
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan berbagai upaya harus dilakukan untuk mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan.
“Karhutla ini bukan hal baru, sudah terjadi berpuluh tahun lalu. Bedanya, dulu masyarakat belum sadar betul apa itu karhutla, tapi kini sudah beda karena edukasi digencarkan ke masyarakat,” kata Herman Deru yang dijumpai pada acara “Berjuta Shalawat” untuk memanjatkan doa agar terhindar dari bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2021, Sabtu (10/4).
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pun menyoroti mengenai keberadaan lahan tak produktif yang selalu rawan terbakar di musim kemarau. Berdasarkan hasil analisa pemprov diketahui bahwa hampir 50 persen areal yang terbakar merupakan lahan tak produktif.
"Kami berharap terdapat rekomendasi dari pemerintah pusat agar lahan tersebut dapat dikelola sehingga karhutla semakin dapat diminimalisasi," kata dia.
Sumatera Selatan menjadi salah satu provinsi yang dinilai rawan mengalami karhutla lantaran memiliki areal seluas 1,4 juta hektare yang merupakan lahan gambut.
Setelah terjadi karhutla hebat pada 2015 yang membakar 736.587 hektare, Sumsel mengalami penurunan luas areal yang terbakar berkat terjadi perubahan dalam penanganan. Kali ini, lebih mengedepankan pada mitigasi.
Pada akhir 2020 terjadi penurunan hotspot dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
BPBD Sumsel mencatat terdapat 4.536 titik api sepanjang 2020, sedangkan pada 2019 tercatat 17.361 titik api. Total luas kebakaran pada 2020 mencapai 946,33 ha.
Untuk mengoptimalkan upaya pencegahan karhutla pada 2021, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan status siaga darurat karhutla pada Maret 2021 atau lebih awal dibandingkan dengan tahun lalu.
Status siaga darurat karhutla biasanya mulai berlaku pada April, namun tahun ini dilakukan lebih cepat lantaran BMKG memperkirakan musim kemarau sudah terjadi di wilayah Sumsel, sejak awal Maret.
Pemprov Sumsel juga memberikan bantuan keuangan untuk pencegahan karhutla di kabupaten dan kota. Anggaran yang disiapkan Pemprov Sumsel untuk penanggulangan karhutla tahun ini Rp30 miliar, sedangkan pada 2020 senilai Rp45 miliar. Angka ini lebih kecil dibandingkan dengan dana yang dianggarkan untuk tahun lalu yang mencapai Rp45 miliar.
“Tahun lalu diserahkan ke pemkab tahun ini dikelola pemprov. Anggaran Rp30 miliar ini untuk sekat kanal, hingga peralatan lainnya seperti sumur bor,” kata dia.
Baca juga: Wamen LHK: Sosialisasi karhutla ke masyarakat akan ditingkatkan
Daerah rawan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Selatan memetakan enam daerah yang menjadi prioritas penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2021.
Kepala BPBD Sumsel Iriansyah di Palembang, Rabu, mengatakan, penetapan ini berdasarkan hasil evaluasi dan riwayat bencana di Sumsel pada 2020.
Adapun enam daerah tersebut yakni, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, Muara Enim, dan Penukal Abab Lematang Ilir (PALI).
Sementara pada tahun sebelumnya, ditetapkan 10 daerah rawan karhutla, termasuk Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Rawas dan Musi Rawas Utara.
Pada umumnya 10 daerah masih rawan karhutla, namunsetelah dievaluasi dan melihat dari histori di tahun sebelumnya, tahun ini fokus pada enam daerah, yakni Ogan Ilir, OKI, Muba, Banyuasin, Muara Enim dan Pali yang tahun lalu terjadi karhutla, kata dia.
Upaya pencegahan yang dilakukan yakni berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dari tingkatan kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan hingga desa.
Untuk personel, pihaknya mencatat terdapat dari 9.000 orang yang disiapkan untuk pencegahan dan penanganan karhutla. Ini merupakan kekuatan gabungan dari TNI, Polri, BPBD ditingkat provinsi dan kabupaten, masyarakat peduli api, perkebunan, HTI dan sebagainya.
Sedangkan untuk peralatannya, lanjut Iriansyah, Gubernur Sumsel sejak tahun lalu sudah menyalurkan dana ke 10 daerah rawan karhutla di Sumsel senilai masing-masing Rp45 miliar. Dana ini diperuntukkan untuk penyediaan peralatan yang dipakai untuk setiap daerah dalam mencegah karhutla.
Tahun ini ada anggaran Rp30 miliar, namun ditempatkan untuk setiap OPD yang menangani karhutla di Provinsi Sumsel. Seperti di BRG yang peruntukkannya bagi pembuatan embung, kanal bloking, sumur bor, dan sebagainya, kata dia.
Baca juga: Setiap desa di OKU-Sumsel diminta aktifkan posko penanganan karhulta
Penegakan hukum
Aktivis lingkungan Walhi Sumatera Selatan mencatat hasil pemantauan lapangan dalam kurun waktu lima tahun (2015-2020) terdapat 1,012 juta hektare lahan terbakar sebagai dampak kekeringan musim kemarau dan ulah manusia.
Lahan yang terbakar itu terdiri atas kawasan hutan, lahan gambut, lahan perkebunan baik milik masyarakat maupun perusahaan, demikian menurut Manager Kampanye Walhi Sumsel Puspita Indah Sari.
Lahan yang mengalami kebakaran tersebut, berdasarkan pemantauan di lapangan, sebagian terjadi berulang.
Berdasarkan fakta lapangan tersebut, pihaknya mengajak masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan yang berada di kawasan rawan terbakar untuk melakukan tindakan pencegahan yang lebih baik agar pada musim kemarau ke depannya bisa dihindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Permasalahan karhutla di provinsi ini sudah seharusnya diatasi secara serius dengan melakukan tindakan yang bisa mengatasi akar masalah bukan tindakan standar yang dilakukan selama ini seperti pembasahan dari darat dan udara ternasuk melakukan modifikasi cuaca/hujan buatan.
Jika akar permasalahan yang dapat memicu terjadinya karhutla tidak diatasi dengan baik, kebakaran hutan dan lahan akan selalu terjadi pada musim kemarau dengan luasan yang lebih besar, katanya.
Ia menjelaskan, salah satu akar permasalahan yang dapat memicu terjadinya karhutla pada setiap musim kemarau, tidak dikelola dan dimanfaatkannya dengan baik lahan gambut.
Lahan gambut yang tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, pada musim kemarau akan mengalami kekeringan dan mudah terbakar, kemudian pada musim hujan tergenang berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi serta gagal panen, ujarnya.
Wakapolda Sumsel Brigjen Pol Rudi Setiawan mengatakan penanganan karhutla salah satunya akan efektif jika dibarengi dengan penegakan hukum.
Terkadang, Kepolisian kesulitan dalam pembuktian karena kasus-kasus karhutla itu terjadi di kawasan yang sulit terjangkau.
Untuk itu, Polda Sumatera Selatan menggandeng Universitas Sriwijaya untuk menyiapkan para ahli dalam penegakan hukum kasus-kasus kebakaran hutan dan kebun serta lahan.
Selama ini Polda kerap mendatangkan para ahli dari berbagai bidang dari luar Sumsel dalam pemeriksaan pelaku kasus karhutla.
Selain meminimalisir biaya dalam mendatangkan ahli, kerja sama tersebut juga sebagai apresiasi Polda Sumsel terhadap ilmuwan lokal yang dinilai berkompeten dalam berbagai disiplin ilmu.
Rudi menjelaskan bencana kebakaran hutan dan lahan di Sumsel terjadi hampir setiap tahun sehingga membutuhkan upaya yang kuat dari mulai proses pencegahan, penanganan hingga penegakan hukum.
Pada proses penegakan hukum tersebut para penyidik kepolisian harus melakukan klarifikasi dan uji laboratorium bersama para ahli pertanahan maupun gambut dalam menentukan klausul hukum.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selalu menjadi acaman setiap tahun di saat musim kemarau. Kolaborasi multipihak diharapkan semakin erat sehingga bencana ini benar-benar tidak terjadi di Tanah Air.
Baca juga: Polda Sumsel siapkan penghargaan untuk satgas penanggulangan karhutla
Baca juga: BPBD Sumsel petakan enam daerah prioritas penanganan karhutla
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021