Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin terkikis antara lain karena keterkaitan Polri dengan sejumlah kasus kontroversial di masyarakat.
"Terkikisnya kepercayaan publik tampak jelas dalam setahun ini dalam kontroversi `cicak versus buaya` yang mengundang gelombang ketidakpuasan publik terhadap Polri yang begitu masif," kata Wakil Koordinator Kontras, Indria Fernida, di Jakarta, Selasa.
Selain itu, ujar Fernida, dampak kontroversial itu terus berlanjut ketika mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji ditahan oleh institusinya sendiri.
Menurut dia, hal itu membuat Susno seolah-olah menjadi lawan dari Polri karena keberanian Susno dalam mengungkapkan informasi skandal mafia peradilan termasuk menyangkut sejumlah orang di tubuh Polri.
"Penetapan Susno Duadji sebagai tersangka untuk dugaan mafia peradilan juga tidak berhasil menyakinkan kepercayaan publik dan justru membenarkan dugaan motif `balas dendam` oleh Polri," katanya.
Selain itu, menurut Indria, peristiwa tersebut juga dapat mengindikasikan terseretnya Polri ke dalam ranah politik.
Kontras juga berpendapat bahwa hal yang menonjol secara negatif dalam setahun ini adalah dominannya Polri dalam pemberitaan media terkait dugaan praktik korupsi, rekayasa kasus, dan mafia peradilan.
Pemberitaan itu, ujar dia, jelas akan berimbas pada pencapaian pembentukan kepercayaan publik.
Namun, LSM itu juga mengapresiasi berbagai hal penting dalam reformasi Polri seperti berupaya mendorong akuntabilitas publik dengan membetnuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi, serta memperbaiki institusi dan personel melalui pendidikan dan pelatihan HAM yang melibatkan pihak luar Polri.
Selain itu, Kontras juga menyatakan bahwa kemajuan yang berarti setahun ini adalah keberhasilan Polri dalam mengejar salah satu buruan kasus terorisme yang paling berbahaya, Noordin M Top.
"Paling tidak ini menunjukkan bagaimana tindak terorisme masih bisa dibendung lewat proses penegakan hukum, tanpa memerlukan mobilisasi aktor keamanan lain, khususnya TNI," katanya.enambahkan.
(T.M040/Z002/P03)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010