"Kalau lebih banyak orang yang datang untuk mengetahui ada gletser di Papua tentu lebih bagus karena saat ini banyak orang tidak mengetahuinya," kata Lonnie Thompson kepada ANTARA di Timika, Selasa .
Ia mengatakan, kondisi gletser Papua yang terus berkurang secara ekstrim dewasa ini akan memberikan pesan yang kuat bagi siapa pun yang mengunjungi kawasan itu akan kondisi bumi yang kian panas.
Meski demikian, Lonnie berharap agar kegiatan kepariwisataan ke Puncak Cartensz harus terkontrol secara baik untuk menjaga kondisi gletser dan gunung-gunung setempat tetap bersih.
"Itu yang sangat penting, aktivitas pariwisata harus tetap terkontrol," katanya.
Dinas Pariwisata Papua saat ini berencana membangun sejumlah cotage di sekitar Puncak Cartensz atau dalam bahasa Amungme disebut Nemangkawi untuk mendongkrak arus kunjungan wisatawan terutama para pendaki.
Selama ini para wisatawan memilih jalur dari Ilaga, Kabupaten Puncak untuk mendaki ke Puncak Cartensz dan harus menyiapkan tenda sendiri saat tiba di salah satu dari puncak tertinggi di dunia itu.
Sebelumnya, Lonnie memperkirakan umur gletser yang ada di Puncak Cartensz Papua hanya akan bertahan 20 hingga 30 tahun lagi akibat pemanasan global.
Lonnie mengatakan, proses pencairan gletser hingga pada akhirnya hilang semua merupakan suatu fakta yang tidak bisa dibendung dengan teknologi apa pun yang dimiliki manusia sepanjang kondisi panas bumi terus mengalami kenaikan.
"Gletser di sini dan di tempat-tempat tropis lainnya yang panas semua akan hilang akibat perubahan iklim," jelas Lonnie.
Ia mengatakan, hasil penelitian timnya akan selesai akhir tahun ini dan akan dipublikasikan sekitar Juni 2011.
Penelitian inti es Papua tersebut merupakan kerja sama Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia dengan Byrd Polar Research Center (BPRC) The Ohio State University dan Lamont Doherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, Amerika Serikat .
Penelitian ini melibatkan sejumlah pakar dari Amerika Serikat, Australia, Prancis, Italia dan Indonesia. (E015/A011)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010