Jakarta (ANTARA) - Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau yang kini dikenal dengan sebutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan salah satu sektor pekerjaan yang turut menyumbang devisa kepada negara dengan nominal yang tidak sedikit.
Pada 2018, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) merilis pemasukan negara dari devisa sektor tersebut mencapai Rp70 triliun. Kemudian, jumlah itu naik drastis pada 2020 dimana sekitar Rp157,6 triliun devisa negara dihasilkan dari pekerja migran.
Bahkan menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja Indonesia di luar negeri masuk dalam 10 besar penyumbang remitansi. Urutan ini mengalahkan ekspor elektronik serta hasil kayu hutan. Dengan kontribusi besar itu, tak salah jika WNI yang bekerja sebagai PMI dijuluki sebagai pahlawan devisa.
Namun siapa sangka di balik sumbangsih besar mereka kepada negara kala mencari peruntungan di negeri orang, ada duka mendalam yang terus terjadi menimpa para PMI hampir setiap tahunnya.
Duka itu ialah ancaman tindak pidana perdagangan orang yang menghantui PMI baik di dalam maupun luar negeri. Meski kasus perdagangan orang tidak terjadi hari ini saja dan jumlah pastinya tak terhitung akibat terdapat kasus yang tidak dilaporkan, antusias masyarakat untuk bekerja ke luar negeri tetap saja tinggi.
Baca juga: Organisasi migrasi internasional terapkan 3P atasi perdagangan orang
Bahkan, bisa dikatakan setiap tahunnya selalu terjadi lonjakan imigrasi oleh PMI terutama ke negara-negara di timur tengah. Dengan iming-iming gaji tinggi, diberikan bonus besar, fasilitas memadai, tunjangan hingga dijanjikan perhiasan berupa emas membuat anak negeri luluh dan bersemangat menyeberang ke daratan yang mungkin saja belum pernah mereka ketahui sebelumnya.
Maklum saja, faktor pendidikan yang rendah terkadang membuat mereka tidak bisa berpikir lebih jauh tentang bahaya ataupun ancaman perdagangan orang di luar sana. Belum lagi sejumlah jebakan yang dilakukan oleh para calo serta agen kepada korban.
Salah satu modus yang kerap digunakan ialah memberikan sejumlah uang panjar kepada korban sebelum berangkat ke negara tujuan. Karena himpitan ekonomi serta kurangnya pengetahuan, maka korban menerima begitu saja. Hal ini membuat mereka akhirnya mau tidak mau mesti ikut berangkat ke negara tujuan sebagai PMI meski kadang tanpa identitas lengkap atau tidak sesuai prosedur.
Baca juga: SBMI: 1.500 kasus pidana perdagangan orang timpa WNI di Timur Tengah
Berdasarkan data Bareskrim Polri yang dilaporkan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada rentang waktu 2015 sampai 2019, setidaknya terdapat 2.469 WNI yang menjadi korban kejahatan tersebut baik di dalam maupun luar negeri.
Tak jauh beda, data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menunjukkan negara-negara timur tengah menjadi tujuan favorit WNI untuk mencari peruntungan. Di luar ekspektasi yang tinggi, tak jarang yang terjadi justru tindak perdagangan orang. Selama kurun waktu lima tahun terakhir saja, khusus untuk wilayah wilayah timur tengah tercatat sekitar 1.500 WNI menjadi korban perdagangan orang. Angka itu tentu saja di luar yang dilaporkan atau diterima oleh organisasi tersebut.
Dari ribuan kasus yang terjadi, perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan jadi korban perdagangan orang, yang dalam istilah hukumnya adalah tindak pidana perdagangan orang. Pada umumnya mereka dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga hingga mengarah pada kejahatan seksual.
Baca juga: Kemenlu tegaskan TPPO jadi prioritas
Kasus perdagangan orang yang dialami oleh PMI tidak bisa hanya dilihat dari sisi sudah sesuai atau tidaknya prosedural yang dilalui. Sebab, berdasarkan investigasi SBMI terdapat 72 perusahaan yang mengurusi atau mengirim PMI ke timur tengah yang mengarah pada perdagangan orang. Padahal, 72 perusahaan itu memiliki izin.
Setidaknya hal yang dilakukan 72 perusahaan itu memenuhi tiga unsur perdagangan orang yang pada umumnya terjadi di sektor rumah tangga. Kemudian, ada pula 42 perusahaan yang menempatkan PMI sebagai anak buah kapal perikanan dengan mengantongi izin oleh Kementerian Perhubungan.
"Artinya, perdagangan orang tidak bisa kita lihat sebagai cara menempatkan," kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno.
Fakta itu menunjukkan kejahatan perdagangan orang sudah dilakukan secara terang-terangan. Terlebih lagi dengan memiliki izin dari pemerintah yang disalahgunakan oleh perusahaan yang menempatkan PMI.
Baca juga: Kemenlu paparkan modus pelaku TPPO jerat WNI
Kasus perdagangan orang yang dialami anak bangsa di timur tengah merupakan satu contoh dari sekian banyak kasus perdagangan orang di berbagai negara lainnya. Padahal, pemerintah Indonesia sempat memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman PMI ke wilayah timur tengah pada 2012.
Pada awalnya atau lebih tepatnya tiga tahun moratorium itu berjalan, hampir semua perusahaan atau jasa penempatan PMI ke luar negeri gulung tikar atau bangkrut. Namun, pada 2015 perusahaan yang sudah mati kembali hidup dengan memanipulasi dokumen.
Perusahaan tersebut menjanjikan kepada calon korbannya untuk dapat bekerja di sebuah rumah sakit di Arab Saudi. Tetapi, faktanya WNI yang berangkat malah "disewakan" serta dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
"Bisa kami katakan ini over outsourching yang dilanggengkan dunia internasional," kata dia.
Kasus-kasus yang terjadi pada dasarnya sudah terlihat di permukaan. Hanya saja ada yang salah atau keliru dalam memandang serta menafsirkan tindak perdagangan orang yang terjadi. Bahkan, cara penindakan hukum pun dinilai salah jika merujuk ke UU 21/2007.
Harus ditelaah lebih jauh, perdagangan orang tidak hanya menyangkut masalah ekonomi saja melainkan lebih dari itu dimana ada aspek sosial, budaya dan psikologi yang harus dicermati secara detail.
Upaya pemerintah
Kementerian Luar Negeri menegaskan kasus perdagangan orang terhadap WNI yang sedang berada di luar negeri pada hakikatnya menjadi prioritas pemerintah untuk diselesaikan.
Selain Kemenlu, seluruh perwakilan Indonesia yang ada di luar negeri juga menjadikan perdagangan orang WNI sebagai prioritas. Saat ini pemerintah memiliki 129 kantor perwakilan Indonesia di luar negeri termasuk satu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia yang memiliki fungsi kekonsuleran.
Semua kantor perwakilan itu akan berusaha semaksimal mungkin mencegah perdagangan orang terjadi. Kendati demikian, tantangan perlindungan terhadap WNI di luar negeri terutama korban perdagangan orang kian hari semakin kompleks. Apalagi, masa pandemi Covid-19 membuat hal itu semakin rumit.
Kondisi Covid-19 di luar negeri mengakibatkan korban perdagangan menjadi lebih rentan. Hal itu dikarenakan WNI yang terjangkit virus maupun tidak terjebak oleh kebijakan karantina wilayah serta tidak bisa berbuat banyak terutama bagi mereka yang tidak memiliki dokumen jati diri.
Baca juga: KBRI minta WNI tak terima pekerjaan ART di Turki seiring lonjakan TPPO
Selain itu, kondisi yang sama juga rentan terhadap WNI buruh harian lepas atau yang mengandalkan upah dari pekerjaan harian.
Kementerian Luar Negeri terus berusaha melindungi dan mewaspadai para WNI tanpa dokumen jati diri serta berada di luar negeri tersebut agar tidak terjebak kejahatan perdagangan orang.
Termasuk pula mewaspadai salah satu modus perdagangan orang yang dapat dilihat saat WNI yang tidak memiliki dokumen berangkat ke luar negeri atau tidak sesuai prosedur.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, jumlah kasus yang ditangani kementerian tersebut termasuk oleh perwakilan Indonesia pada 2020 meningkat lebih dari 100 persen.
"Pada 2019, kami menangani 24.000 kasus dan pada 2020 jumlahnya melonjak dua kali lipat yakni lebih dari 54.000 kasus," kata kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha.
Baca juga: DFW: Kenali indikator kerja paksa di dalam sektor perikanan
Peran IOM
Kasus perdagangan orang bukan lagi menjadi masalah Indonesia saja, namun sudah menjadi atensi dunia internasional salah satunya melalui International Organization for Migration (IOM) atau organisasi internasional yang bergerak di bidang migrasi. Organisasi itu menerapkan strategi pencegahan, penuntutan dan perlindungan untuk mengatasi perdagangan orang.
"Cara ini kami lakukan baik di Indonesia maupun secara global," kata Project Assistant IOM, Eny Rofiatul Ngazizah.
Pencegahan oleh IOM yakni memaksimalkan migrasi yang aman bagi masyarakat. Sehingga, migrasi yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri terhindar dari perdagangan orang.
Aspek pencegahan ini merujuk kepada sejumlah kasus yang ditemukan IOM dimana banyak korban termakan bujuk rayu pelaku dengan iming-iming gaji besar saat mencari pekerjaan.
Kemudian, untuk aspek penuntutan IOM secara intesif bekerja sama dengan aparat penegak hukum mulai dari polisi, kejaksaan hingga Mahkamah Agung.
Terakhir, untuk perlindungan yang dijalankan IOM ialah memberikan rehabilitasi kepada korban perdagangan orang termasuk reintegrasi dengan menyediakan tempat bernaung melalui kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat.
Baca juga: Yogyakarta bentuk tim pencegahan perdagangan orang
Pada program reintegrasi tersebut, IOM tidak hanya menampung tetapi juga memberdayakan para korban TPPO agar bisa mandiri dan kembali ke masyarakat dengan membawa keahlian tertentu. Hal itu tentunya tanpa harus kembali bermigrasi.
Tidak hanya menerapkan 3P, IOM juga aktif memberikan sosialisasi terkait proses perekrutan yang etis dilakukan sesuai aturan berlaku.
Secara umum, kasus perdagangan orang selama 2020 tidak hanya meningkat secara nasional namun juga terjadi di tingkat global. Dari data yang dikumpulkan organisasi tersebut rata-rata korban dieksploitasi sebagai pekerja seksual.
Harapannya, setelah sekian ribu anak bangsa menjadi korban perdagangan orang, pemerintah diharapkan lebih tegas dan mewaspadai kejahatan itu sebelum korban terus bertambah. Sebab, ancaman perdagangan orang akan selalu ada dan mengintai para pahlawan devisa.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021