Pohuwato (ANTARA News) - Kakinya nyaris terperosok pada satu celah yang ada di jembatan itu. Andaikan tak bertahan pada sisi jembatan, tubuhnya pasti sudah tercebur dalam sungai. Dua jam sudah ia mengamati Jembatan Hulawa, satu-satunya jembatan di desanya.

Lebih dari sepuluh kali sudah jembatan semua orang itu rusak. Jembatan sepanjang 60 meter dengan lebar 1,30 meter tersebut, selalu membuat pikirannya tak pernah tenang. Pernah ia tak bisa makan dan tidur selama dua hari, saat jembatan itu rusak untuk pertama kalinya.

Ia menghentakkan kakinya, untuk memastikan tak ada kayu yang lapuk di dasar jembatan. Takut kalau-kalau jembatan itu tiba-tiba rusak. Mengapa ia begitu peduli hingga menghabiskan waktunya pada satu jembatan?

"Kalau tak ada jembatan ini, sudah pasti warga yang hidup di tiga dusun ini tak bisa ke mana-mana," ujar pria bertubuh mungil itu.

Pria berkumis tipis itu adalah Nurdin Batili, warga Desa Hulawa, Kecamatan Buntuliya, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Ia sering dipanggil "Ka Kubo", nama kesayangan dari warga setempat.

Tak hanya nama, rasa sayang warga kepadanya juga ditunjukkan dengan berbagai cara. Mulai dari mengantarkan makanan kesayangannya, hingga membantunya bekerja. Warga sungguh merasa berhutang budi padanya. Ia dianggap `dewa penolong` di kala banjir.

Dedikasi pria itu tak semungil tubuhnya. Dialah yang mendirikan jembatan Hulawa itu untuk ratusan warga di desanya. Persembahan itu tak ternilai harganya bagi desa yang sebelumnya kesulitan akses transportasi, terlebih saat hujan.

Jembatan tersebut merupakan satu-satunya penghubung tiga dusun yakni Popaya, Kapali dan Bubata. Jembatan itu juga merupakan tumpuan bagi para siswa serta akses utama menuju lokasi pertambangan.

Ia dan warga di desa itu bertahun-tahun merasakan penderitaan yang tak berujung. Jalan yang rusak, jembatan lapuk dan air bah sudah biasa mereka temui.

Bila hujan deras tiba, warga terpaksa memilih berdiam diri di rumah, karena Sungai Hulawa tak bisa dilalui dengan mudah. Kalau memaksa pun, nyawa adalah taruhannya. Tak heran, warga lebih mengharapkan musim kemarau lebih panjang dari musim hujan.

Ka Kubo selama ini tak pernah berpikir untuk menggantikan kewajiban pemerintah. Toh, pikirnya, selama ini tugas pemerintah sudah sangat jelas untuk dipahami dan dijalankan dengan baik.

Namun, ketika janji pemerintah daerah untuk membangun jembatan di desa itu tak kunjung ditepati, ia pun terusik.

Penantian warga hanya sia-sia. Triliunan rupiah anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur jembatan tak pernah mereka cicipi.

"Pemda pernah berniat membangun jembatan beton di sini tahun 2009. Tapi, sampai saat ini yang ada baru fondasinya saja dan tak ada tanda-tanda kapan akan dikerjakan lagi," ujarpnya.

Sejak saat itu, ia dan warga lainnya berhenti berharap keajaiban akan datang, kecuali dari tangan merea sendiri. Lelah menghabiskan waktu dan tenaga untuk menunggu `rasa iba pemerintah, Ka Kubo pun akhirnya menyisihkan sedikit uang yang diperolehnya dari bertani.

Dengan modal dua juta rupiah dan ditambah sumbangan dari keluarganya, sebuah jembatan kecil pun akhirnya berdiri pada 2008.

Meski hanya bisa dilalui kendaraan beroda dua, namun kegirangan warga tak terhingga. Kehadiran jembatan itu mampu mengobati rasa sedih warga yang kerap terisolir karena banjir.

Saking senangnya, jembatan itu mereka rawat bersama-sama. Warga pun sepakat untuk mengumpulkan sumbangan ala kadarnya untuk perawatan jembatan.

Ka Kubo ditunjuk menjadi pengurus jembatan. Tugas yang sebenarnya tak mudah dan tak mendatangkan keuntungan baginya. Tapi kepercayaan warga desalah yang membuat dia selalu ingin berbuat lebih.

Sebuah kotak sumbangan pun diletakkan di salah satu sisi jembatan. Meski diletakkan begitu saja, kotak itu tak pernah dicuri orang. Setiap bulan sekali isi kotak dikeluarkan bersama-sama oleh warga.

"Biasanya terkumpul uang hingga dua ratus lebih dalam sebulan. Isi kotak itu kami simpan dan dipergunakan untuk memperbaiki jembatan kalau rusak," ujar pria dengan tiga anak itu.

Pengorbanan Ka Kubo mengantarkan dia menjadi satu dari 34 nominator dalam Suharso Monoarfa (SuMo) Award Tahun 2010, satu-satunya ajang penghargaan di Provinsi Gorontalo bagi para guru, pejuang, dan tokoh berjasa di masyarakat.

Bagi warga desa, jembatan adalah satu impian besar yang nyaris tak terwujud. Seandainya saja tak ada "malaikat" seperti Nurdin, mungkin warga hanya akan menjadi korban ketidakpercayaan terhadap pemerintah. (D015/H-KWR)

Oleh Debby Hariyanti Mano
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010