"Tiga film tersebut berjudul Goona Goona, Rolf de Mare dan The Island of Bali yang seluruhnya memanfaatkan lokasi pengambilan gambar di Pulau Dewata pada 1930-an," kata General Manager Hotel Amandari Kedewatan Ubud, Liv Gussing, selaku panitia pemutaran film tersebut, di Ubud, Bali, Minggu.
Didampingi Direktur "Cinematheque de la Danse" Perancis Patrick Bensard dan pengamat kebudayaan Bali Agnes Montenay, Ia menjelaskan, pemutaran tiga judul film dekumenter tentang Bali dan seni tarinya juga ditampilkan tiga judul film dari Amerika sebagai pembanding pada tahun yang sama.
Pemutaran film wajah Bali 80 tahun silam, saat pariwisata belum membawa perubahan dahsyat di Pulau Dewata, serangkaian memperingati hari ulang tahun ke-21 Amandari, sebuah resort wisata ekslusif di Ubud.
Pemutaran film dalam tiga malam itu seluruh enam judul film terselenggara berkat kerjasama dengan dua lembaga arsip film terkemuka di dunia, "Cinematheque de la Danse" di Paris (Perancis) dan "Dansemuseet di Stockholm" (Swedia).
"Kami di Amandari selalu berupaya untuk dapat berpartisipasi dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali. Pemutaran film ini kami harapkan dapat memberikan semangat kepada generasi muda Bali untuk terus melestarikan dan menghidupkan warisan kebudayaan mereka yang begitu agung," ujar Liv Gussing.
Ia menjelaskan, pada malam pertama (1/7) akan diputar film Goona Goona, film yang disutradarai oleh Andre Roosevelt serta Armand Denis. Film tersebut menceritakan kisah seorang pangeran Bali yang menggunakan guna-guna untuk menaklukkan hati seorang gadis dari keluarga biasa.
"Ini merupakan film komersial pertama tentang Bali yang meraih sukses luar biasa," ujar pengamat kebudayaan Bali Agnes Montenay.
Ia menjelaskan, Goona Goona diputar pertamakali di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1930-an dan memperoleh sambutan luar biasa dari para penonton di sana.
Istilah Goona Goona menjadi sangat populer di New York dan kerap kali digunakan untuk merujuk pada "larutan cinta".
"Film tersebut pembuatannya dibiayai oleh Badan Pariwisata Belanda saat itu sebagai upaya untuk mempromosikan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang eksotis, sebuah pulau surga," tambah Agnes.
Versi asli film itu sampai sekarang masih tersimpan di Museum Belanda. Sesudah Goona Goona, penonton akan memperoleh kesempatan melihat wajah lain dari New York pada tahun 1930-an melalui film "Same Time in Harlem".
Film tersebut menceritakan tentang Nicholas Brothers, dua bersaudara berkulit hitam yang meroket namanya berkat keterampilan mereka dalam menari tap. "Melalui film ini kita ingin memberikan perbandingan antara tari Bali dan tap dance yang eksis pada periode waktu yang sama itu," ujar Agnes.
Menurut Agnes, Nicholas Brothers memiliki sejumlah kesamaan dengan para maestro seni tari Bali di jaman lampau. "Mereka tidak pernah belajar menari melalui lembaga-lembaga formal, mereka belajar dari alam atau dari master-master tari sebelumnya. Mereka juga memiliki keahlian yang luar biasa dan, yang terpenting, memiliki dedikasi yang sangat mengagumkan terhadap seni tari," paparnya.
"Same Time in Harlem" merupakan rangkaian dari sejumlah rekaman penampilan Nicholas Brothers yang tersimpan di Cinematheque de la Danse.
"Nicholas Brothers mulai menari saat berumur delapan tahun dan baru berhenti menari sesudah 80 tahun," ujar Direktur Cinematheque de la Danse, Patrick Bensard.
Pada malam kedua (Jumat malam, 2/7) akan diputar film berjudul "Rolf de Mare", yang disutradarai oleh Erik Naslund. Film ini merupakan rangkaian dari sejumlah rekaman yang dibuat Rolf de Mare dalam dua kali kunjungannya ke Bali pada 1930-an.
Rolf de Mare adalah penari dan koreografer ternama yang pada 1933 mendirikan Les Archives de la Danse, lembaga riset dan museum tari pertama di dunia. Sesudah Perang Dunia II, koleksi lembaga ini diserahkan kepada Paris Opera serta museum tari Dansemuseet di Stockholm, Swedia.
"Rolf de Mare merupakan salah seorang pertama yang secara sistematis memfilmkan tari-tari tradisional Indonesia. Dalam film ini kita akan melihat tari dari Nias, Jawa, Sulawesi serta Bali," tutur Patrick Bensard.
Ia juga juga menekankan, bahwa dalam film tersebut terdapat adegan yang menurutnya menggambarkan cara pengajaran tari terbaik di dunia.
"Itu adegan yang luar biasa, mengggambarkan master tari Bali asal Tabanan, Mario (Maria/Marya) sedang membimbing salah seorang anak didiknya," paparnya.
Pada hari terakhir (Sabtu malam, 3/7) akan diputar film berjudul "The Island of Bali" yang disutradarai oleh Miguel Covarrubias, penulis buku berjudul sama yang menjadi "best seller" di Amerika Serikat sebelum Perang Dunia II.
"Istri Miguel Covarrubias yaitu Rosa adalah seorang penari dan selama kunjungannya di Bali pada 1930 dan 1937, Rosa merekam banyak sekali tari Bali dan aspek-aspek kebudayaan Bali. Hasil rekaman inilah yang diedit oleh suaminya dan diproduksi menjadi film ini," papar Agnes Montenay.(*)
(T.I006/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010