Jakarta (ANTARA News) - Melangun bagi suku Kubu, Orang Rimba atau Anak Dalam yang menetap di perbatasan Provinsi Riau dan Jambi adalah pergi jauh.

Melangkahkan kaki menjauh dari kampung halaman menghilangkan kesedihan akibat ditinggal mati sanak saudara.

Berjalan kaki melintasi sejumlah kota kecamatan, kabupaten hingga provinsi berharap kesedihan ditinggalkan keluarga akan sirna. Menatap jalanan yang dilalui dan berusaha melupakan kesedihan.

"Melangun sampai hati puas, sampai hilang kesedihan," ujar Sukur, salah seorang suku Anak Dalam yang menetap di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh,pada Kamis (24/6) lalu.

Lelaki yang mengaku tidak mengetahui berapa usianya ini, mengatakan untuk menghilangkan kesedihan akibat kematian anaknya, ia bahkan melangun hingga bertahun-tahun. Bahkan sampai ke Padang Panjang.

Tradisi wajib diikuti seluruh keluarga yang tertimpa kemalangan. Dengan berjalan kaki, Sukur dan keluarga mampu berjalan ke Padang Panjang dan Taluk Kuantan, yang berjarak ratusan kilometer di tempatnya menetap saat itu.

"Lama Melangun, baru kami pulang. Sampai hati senang, dan tak ada lagi sedih. Tapi tak menetap di tempat asal, melainkan mencari daerah yang agak jauh," kata Sukur yang tak henti-hentinya merokok.

Dulu, melangun dilakukan hingga puluhan tahun karena dianggap sebuah kesialan. Namun sejak beberapa tahun belakangan tradisi tersebut dilakukan dalam waktu yang singkat.

Tradisi ini, lanjutnya, diawali dengan ratapan yang dilakukan keluarga dihadapan mayat. Menangis, meraung dan menghempaskan badan ke tanah hingga berpekan-pekan lamanya, berharap nyawa yang telah dicabut dikembalikan kepada mayat tersebut.

Sebelum Melangun dilakukan pun, mayat yang telah ditutup kain tersebut dibiarkan diatas Sesudungon. Sesudungon yaitu tempat berteduh yang berukuran 2x2 meter dan beratap daun atau plastik yang tingginya 12 undukan dari tanah. Jika untuk anak-anak, tingginya 4 undukan dari tanah.

"Kami percaya, orang yang mati tersebut akan hidup kembali. Kalau dikuburkan maka tidak harapan untuk hidup kembali dan bergabung bersama kami," jelasnya.

Baru ketika tradisi Melangun usai, mereka mulai melakukan aktivitas normalnya kembali seperti berladang, berburu dan menangkap ikan. Tempatnya pun, agak jauh dari tempanya semula, namun selalu berada di pinggiran sungai yang merupakan sumber kehidupan mereka.

Namun tradisi, menurutnya lambat laun akan hilang, karena suku Kubu ini saat ini tengah berjuang melawan konversi hutan alam yang dilakukan sejumlah perusahaan yang mengantongi izin HTI seperti PT Lestari Asri Jaya (LAJ).

"Takutnya, kalau tradisi ini terus berlangsung. Maka kami akan kehilangan rumah kami," ujarnya.

PT LAJ mendapatkan izin seluas 61.495 hektare. Dulunya, lahan ini merupakan eks hutan produksi dari PT Industries et Forest Asiatiques (IFA). Saat ini, pihak perusahaan tengah mempersiapkan pembukaan lahan dengan pembuatan koridor.

Kehadiran perusahaan ini akan membuat hutan yang menjadi warisan nenek moyang mereka, hanya tinggal cerita. Kelangsungan hidup mereka juga terancam, karena mereka sangat menggantungkan hidup pada hutan.

"Jika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin suku Kubu hanya tinggal cerita," ujar Diki Kurniawan, Koordinator Program Bukit Tigapuluh Komunitas Konservasi (KKI-Warsi).

Begitu juga dengan tradisi Melangun yang sebelumnya mengakar dalam masyarakat suku Kubu. Saat ini ia memperkirakan bahwa terdapat sekitar 24.155 jiwa suku Kubu. Sekitar 2.000 diantaranya bermukim dikawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.

Ia mengatakan penyebarannya di delapan kabupaten, 12 kecamatan, 22 desa, dan di 28 lokasi di Jambi maupun di perbatasan Jambi-Riau. Umumnya mereka tinggal di dalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, hutan produksi, serta hutan taman raya.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa suku ini berasal dari Kubu Karambil, salah satu daerah kerajaan Pagaruyung. Mereka lari dari kampung halaman untuk menghindari perang pada masa penjajahan Belanda.

Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan, tradisi ini akan hilang ditelan deru mesin tebang perusahaan. Kita lihat saja nanti.(KR-IND/T010)

Oleh Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010