Gorontalo (ANTARA News) - Satu jam sudah ia berada di gubuk itu, menanti hujan untuk mempersilahkannya beranjak dari tempat itu.
Padahal, jarak yang ditempuhnya baru satu kilometer. Masih ada tiga kilometer perjalanan dengan medan berbukit dan dua sungai menantinya.
Gubuk yang hanya beratap rumbia tanpa tempat duduk itu, selalu menjadi penolong saat ia kelelahan atau kehujanan. Tak jarang, ia juga berteduh bersama beberapa ekor kambing yang takut basah.
Hal itu seringkali dialami Sri Utami, seorang guru yang mengajar di pedalaman. Tepatnya di daerah transmigrasi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo.
Bila musim hujan tiba, jalanan licin dan becek menjadi musuhnya. Ia terpaksa menenteng sepatu bututnya agar tak dimakan lumpur.
"Ini sepatu saya satu-satunya dan saya akan lebih membutuhkannya saat musim kemarau tiba, " ujarnya wanita berjilbab itu tersenyum.
Mengenakan blus motif bunga berwarna biru, rok hitam yang mulai pudar serta jilbab usangnya, wanita asli Surabaya, Jawa Timur itu kelihatan sangat sederhana. Bukannya ingin berpenampilan sederhana, namun Sri ternyata memang hidup serba kekurangan.
Jangankan untuk beli baju dan sepatu baru untuk mengajar, menyekolahkan anaknya saja ia tak sanggup. Putra tercintanya hanya bisa mencicipi pendidikan hingga bangku SMP saat masih tinggal di Surabaya.
"Itu pun dia bisa sekolah karena biayanya hasil patungan sanak saudara disana. Tapi sejak pindah ke daerah transmigran, anak saya hanya di rumah membantu ayahnya berladang," ungkapnya.
Gaji Rp250.000 yang diterimanya setiap bulan, hanya habis untuk makan. Ia dan dan suaminya yang baru setahun menjadi transmigran di daerah itu, tak punya cukup modal untuk menghasilkan rupiah selain gaji sebagai guru.
Sejak pertama kali mengajar, Sri memang tak pernah berharap profesinya bisa mendulang kekayaan. Ia mengambil keputusan untuk menghabiskan hidupnya menjadi pendidik, saat usianya baru menginjak 20 tahun.
Lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1984 itu mengawali tugasnya di SD Al Jihad, Surabaya, dengan gaji Rp15.000 saat itu.
Selama mengajar di Jawa Timur, ia juga memberanikan diri untuk kuliah di Universitas Tri Tunggal, Surabaya meski gajinya tentus saja tak cukup untuk itu. Beruntung ia selalu menerima beasiswa, hingga sukses meraih gelar sarjana.
Setelah menikah, Sri memilih ikut suaminya ke Lampung pada tahun 2004. Di tanah Sumatera itu, hidupnya tak menjadi lebih baik. Ia mengajar tujuh mata pelajaran dengan imbalan Rp170.000 . Uang yang hanya cukup untuk membeli sekarung beras kala itu.
Tak ingin hidup kekurangan berlama-lama, suami istri itu akhirnya menerima tawaran program transmigrasi ke Gorontalo pada tahun 2009. Meski di daerah terpencil, Sri pun masih "ngotot" menjadi guru abdi.
Baginya, mengajar adalah nadinya. Pernah ia berpikir dan mencoba untuk berhenti saja jadi guru dan terjun menjadi buruh tani. Namun, sehari pun ia tak bisa melakukannya. Ia terlanjur cinta pada dunia pendidikan.
Titel sarjana yang diraihnya susah payah, menjadi beban tersendiri baginya. Ia tak boleh menyia-nyiakan ilmunya.
Kegigihan Sri sebagai guru abdi, menghantarkannya menjadi satu dari tujuh pemenang dalam Suharso Monoarfa Award (SUMO) Awards tahun 2010 untuk kategori guru pejuang. Bersama 34 nominator dalam penghargaan tersebut, Sri dianggap memiliki dedikasi luar biasa dalam mencerdaskan bangsa ini.
Miris nian nasib Sri. Dua puluh enam tahun menjadi guru abdi, tak serta merta membuatnya bisa menyekolahkan sang anak. Hatinya trenyuh setiap kali melihat puluhan siswa yang diajarnya.
"Saya sibuk mengajar sedangkan anak saya tak bisa sekolah," ucapnya lirih.
Di usianya yang kini menginjak 46 tahun, membuat harapan Sri Utami menjadi pegawai negeri sipil tertutup sudah.
Pipinya yang kurus kerap dihiasi air mata kesedihan dan harapan. Harapan agar anaknya bisa mengecap pendidikan. Harapan agar gajinya kelak akan layak. Harapan agar nasib putranya tak berakhir di ladang. (D015/K004)
Oleh Oleh Debby Hariyanti Mano
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010
\"Hormat, salut, dan doa kami