Jakarta (ANTARA) - Sejumlah kalangan di Asia Tenggara pada Kamis (8/4) menyatakan masyarakat ASEAN meyakinkan rakyat Myanmar bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan untuk mendapatkan kembali hak untuk hidup dalam demokrasi damai.
Pernyataan itu merupakan salah satu isi deklarasi bersama yang ditandatangani oleh 225 peserta yang hadir pada acara diskusi virtual bertajuk "Southeast Asian People-to-People Region Hall on the Political Crisis in Myanmar", Kamis.
Para peserta terdiri dari perwakilan masyarakat sipil, seperti LSM, organisasi masyarakat, individu, dan organisasi pemuda dari negara-negara Asia Tenggara.
Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal serta pemenang Nobel Perdamaian serta Presiden Timor Leste periode 2007-2012, Jose Ramos Horta, menyelenggarakan diskusi virtual "Southeast Asian People-to-People Region Hall on the Political Crisis in Myanmar" untuk menanggapi situasi di Myanmar yang semakin memburuk pascakudeta militer pada awal Februari.
Deklarasi "Joint Declaration of the Southeast Asian People-to-People Region Hall on the Crisis in Myanmar" itu berisi terdiri dari 27 poin.
Dino mengatakan deklarasi tersebut akan dikomunikasikan kepada para aktor politik di Myanmar, sepuluh Negara Anggota ASEAN dan Timor Leste, Sekretaris Jenderal ASEAN, PBB, dan komunitas internasional.
"Deklarasi bersama tersebut diharapkan dapat memberikan dampak moral dan insentif politik untuk membantu masyarakat Myanmar, terutama menjelang pertemuan ASEAN mengenai isu Myanmar yang akan diadakan di Jakarta," kata Dino.
Berikut lima poin dari dua puluh tujuh poin dalam deklarasi bersama itu: Pertama: "Kami adalah masyarakat Asia Tenggara yang telah berkumpul bersama sebagai individu dan sebagai perwakilan dari Masyarakat Sipil untuk menyuarakan tangisan hati nurani kita terhadap kudeta militer dan krisis politik di Myanmar dan penderitaan serta kematian dari orang-orang Myanmar."
Kedua: "Kami telah berkumpul di Balai Wilayah Orang-ke-Orang (People-to-People Region Hall) secara virtual yang sangat disadari kemanusiaan kita bersama dengan orang-orang Myanmar dan cinta kita bersama akan kebebasan dan kepatuhan pada demokrasi, hak asasi manusia dan penghormatan terhadap martabat manusia, tanpa memandang ras, bahasa, jenis kelamin, atau latar belakang etnis dan agama atau politik."
Ketiga: "Kami masyarakat Asia Tenggara mengungkapkan dukungan penuh dan solidaritas kami dengan masyarakat Myanmar, termasuk etnis minoritas negara yang sering menderita pengucilan dari proses politik negara, yang kini bangkit dalam protes terpadu menentang perampasan terang-terangan untuk kekuasaan dan serangan Tatmadaw terhadap pemula negara demokrasi."
Keempat: "Kami masyarakat Asia Tenggara meyakinkan rakyat Myanmar bahwa mereka tidak sendiri dalam perjuangan mereka untuk menegaskan martabat mereka sebagai manusia dan untuk mendapatkan kembali hak mereka untuk hidup dalam demokrasi damai. Kepada mereka, kami mengatakan: Jangan putus asa. Kami mendukung Anda."
Kelima: "Kami masyarakat Asia Tenggara juga menyampaikan belasungkawa yang terdalam kepada warga Myanmar yang kehilangan orang yang mereka cintai karena kekerasan oleh pasukan keamanan. Kami merasakan kesakitan yang dialami mereka."
Nonintervensi Bukan Berarti Diam
Dino Patti Djalal, yang juga mantan menteri luar negeri RI, menganggap prinsip untuk tidak campur tangan, seperti yang dianut perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), bukan berarti diam saat pelanggaran HAM terjadi di Myanmar.
"Ini bukan tentang diam ketika para pemimpin terpilih sedang dipenjara," ujarnya.
Ia mengatakan tidak campur tangan bukanlah bersikap diam ketika sebuah "kamar" di rumah Asia Tenggara terbakar.
"Mengenai masalah krisis Myanmar, kita telah menyaksikan bagaimana "tidak-campur tangan" digunakan sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa, tidak mengambil sikap, untuk tidak mengatakan apa-apa yang substansial," kata dia.
Apa yang terjadi di Myanmar dan bagaimana masyarakat menanggapinya, menurut Dino, mengungkapkan siapa mereka sebagai orang Asia Tenggara dan apa ASEAN itu.
"Apa yang terjadi di Myanmar bukan hanya urusan pemerintah. Kita, orang-orang, punya suara. Dan orang, orang-orang itu, penting. Senjata terbesar kita adalah opini publik. Opini publik adalah hal yang sangat kuat, ujar Dino.
Opini publik diyakini dapat memulai proses, memberi energi pada gerakan, dapat mengubah persepsi, dapat membentuk kebijakan, dapat berdampak, dan dapat membuat perbedaan.
Beberapa bulan yang lalu, lanjut dia, Myanmar adalah negara yang relatif normal dan menikmati stabilitas dan perdamaian serta pemilihan umum.
Sekarang Myanmar adalah tragedi Asia Tenggara. Demokrasi hilang. Myanmar adalah tempat di mana kekerasan, ketidakadilan, penindasan, teror berkuasa, bertentangan dengan segala sesuatu yang diperjuangkan, kata Dino.
Ia mengatakan junta militer Myanmar memimpin negara pada ketidakamanan, ketidakstabilan, serta kekacauan.
Sanksi Penuh
Penerima Nobel perdamaian 1996 Jose Ramos Horta merekomendasikan sanksi penuh terhadap junta militer Myanmar.
"Berikan sanksi penuh atau menyeluruh kepada junta militer Myanmar dalam hal senjata militer ataupun keuangan," ujar Jose Ramos Horta.
Sanksi penuh terhadap junta militer Myanmar harus didukung oleh negara-negara anggota ASEAN, ujar mantan presiden Timor Leste itu.
Ia menyerukan kepada negara-negara barat, ASEAN, maupun China untuk bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan yang saat ini terjadi di Myanmar.
Sentralitas ASEAN (ASEAN Centrality) dan Komunitas ASEAN (ASEAN Community) akan menjadi klise jika para pemimpin tidak melawan perampas kekuasaan oleh militer di Myanmar, ujar Ramos Horta.
Ramos Horta juga mengutuk keras perlakuan junta militer Myanmar terhadap penerima Nobel perdamaian 1991 Aung San Suu Kyi.
"Akui pemerintahan terpilih yang memenangkan Pemilu November lalu. Harus ada dialog untuk memulihkan pemerintah terpilih itu serta situasi di Myanmar," kata dia.
Pada 1 Februari, junta militer Myanmar melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Junta militer Myanmar mengklaim partai Suu Kyi melakukan kecurangan dalam pemilu November 2020.
Menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP), sebanyak 581 orang, termasuk puluhan anak-anak, tewas ditembak oleh pasukan dan polisi dalam kerusuhan yang berlangsung hampir setiap hari sejak kudeta. Pasukan keamanan juga telah menangkap hampir 3.500 orang, dengan 2.750 orang di antaranya masih tertahan.
Di antara mereka yang ditahan adalah Suu Kyi dan tokoh-tokoh terkemuka di partai Liga Nasional untuk Demokrasi, yang memenangkan pemilihan pada November tahun lalu namun dibatalkan melalui kudeta tersebut.
Baca juga: Militer Myanmar tembaki pengunjuk rasa, 13 orang tewas
Baca juga: Selebritas Myanmar Paing Takhon ditangkap dengan delapan truk tentara
Pengunjuk rasa Myanmar kuyup oleh tembakan meriam air
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021