Jakarta (ANTARA News) - Realisasi ekspor berbagai jenis rokok Indonesia ke Amerika Serikat (AS) terus menurun sejak 2007.
Menurut data Kementerian Perdagangan dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu, realisasi ekspor aneka jenis rokok Indonesia ke AS yang pada 2007 sebesar 11.165.432 dolar AS, turun menjadi 9.703.991 dolar AS pada 2008 dan 8.338.419 dolar AS pada 2009.
Realisasi ekspor produk-produk tersebut pada Januari-Maret 2010 sebesar 2.531.317 dolar AS, sedikit lebih tinggi dari realisasi pada periode yang sama pada 2009 yang sebesar 2.531.989 dolar AS.
Meski demikian, selama periode itu sama sekali tidak ada ekspor produk "cigarettes tobacco", yang meliputi rokok kretek.
Hal itu berkaitan dengan pemberlakuan undang-undang tentang pencegahan dan pengurangan jumlah perokok muda (Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act) pada September 2009.
Undang-undang ini melarang penjualan semua rokok yang mengandung aroma dan rasa (Flavored cigarettes) termasuk rokok kretek di Amerika Serikat selain menthol.
Pemerintah menilai peraturan tersebut melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena secara diskriminatif mengecualikan rokok menthol dari larangan penjualan rokok beraroma, termasuk rokok kretek di Amerika Serikat.
Padahal rokok kretek dan rokok menthol adalah produk serupa (Like products) menurut Pasal 2.1 pada "Agreement on Technical Barriers to Trade" atau "TBT Agreement".
Di samping itu fakta bahwa sekitar 99 persen rokok kretek yang dijual di pasar AS diimpor dari Indonesia dan hampir seluruh rokok menthol yang dijual adalah produksi AS, menurut pemerintah, menunjukkan secara implisit AS melakukan larangan impor terhadap rokok kretek.
Pemerintah menganggap larangan atas impor rokok kretek tersebut merupakan bentuk perlakuan diskriminasi.
Sebagai anggota WTO, menurut pemerintah, AS seharusnya melaksanakan kewajiban internasionalnya sebagaimana aturan dalam "Agreement on Technical Barriers to Trade" dan "General Agreement on Tariff and Trade" atau GATT tahun 1994 untuk tidak melakukan diskriminasi perdagangan.
Atas dasar tersebut, pemerintah RI kemudian membawa kasus itu ke Dispute Settlement Body (DSB) pada WTO.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami menyatakan tindakan pemerintah RI membawa AS ke DSB WTO merupakan langkah terakhir.
Sebelumnya pemerintah sudah berusaha melawan tindakan yang dinilai diskriminatif tersebut saat ketentuan itu masih dalam bentuk rancangan undang-undang dan dibahas di Kongres sampai diundangkan.
Indonesia, menurut dia, juga telah menyampaikan kepentingannya dalam berbagai forum bilateral ditingkat pejabat senior sampai di tingkat menteri, baik formal maupun informal, selama lebih dari empat tahun namun tak berhasil.
"Ini merupakan masalah prinsip, karena telah terjadi diskriminasi dimana pengecualian terhadap menthol yg juga adalah rokok beraroma (flavoroured) di dalam UU sementara kretek yang beraroma cengkeh dilarang. Oleh karena itu, demi kepentingan nasional, Indonesia membawa masalah ini ke DSB WTO," tegas Gusmardi.
Dalam sidang DSB WTO pada 22 Juni 2010 di Jenewa, Delegasi RI menyampaikan kepada Sidang alasan dan dasar hukum ketentuan WTO mengenai permintaan pembentukan Panel kepada DSB.
Indonesia minta agar Panel memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh AS terhadap ketentuan Pasal III GATT tahun 1994, penggunaan artikel XX GATT 1994 tanpa disertai bukti ilmiah serta tidak terpenuhinya persyaratan yang diatur oleh sejumlah pasal dalam TBT dan "Sanitary and Phythosanitary" atau SPS.
Dalam sidang DSB itu, Delegasi AS menyampaikan kekecewaannya atas tindakan Indonesia membawa AS ke DSB.
AS minta Indonesia untuk mempertimbangkan kembali permintaan pembentukan Panel tersebut.
Penolakan AS tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa terjadi dalam Sidang DSB karena AS sebagai pihak yang dipersengketakan mempunyai hak untuk memblokirnya pada kesempatan pertama sesuai dengan ketentuan WTO Dispute Settlement Understanding (DSU). Namun, pada sidang berikutnya AS tidak mempunyai hak lagi untuk menolak.(M035/A023)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010