Jakarta (ANTARA) - Rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih terus bergulir hingga hari ini, ditandai dengan pertemuan Tim Kajian UU ITE dengan pakar dan publik.
Pengajar Hukum Telematika di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edmon Makarim, berpendapat isu mengenai UU ITE sebenarnya terletak pada penegakan hukum, jika melihat rekam jejak setelah undang-undang tersebut diterapkan.
Baca juga: Anggota DPR nilai pasal "karet" UU ITE harus diperjelas melalui revisi
"Faktanya, UU ITE pernah diuji konstitusional dan hasilnya (dinyatakan) konstitusional," kata Edmon, saat dihubungi ANTARA.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, meminta pemerintah dan wakil rakyat di DPR RI untuk merevisi UU ITE jika dirasa belum bisa memberikan rasa keadilan.
UU ITE pernah direvisi pada 2016, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Menurut Edmon, UU ITE kala itu direvisi dengan urgensi yang sama, ada sejumlah pasal yang menimbulkan multitafsir sehingga bisa disalahgunakan.
Menurut dia, diskusi mengenai revisi UU ITE semestinya tidak melulu berkutat pada substansi, melihat implementasi undang-undang ini yang sering disalahgunakan, ia melihat ada isu pada penegakan hukum.
"Kalau disalahgunakan berarti ada pihak yang menyalahgunakan, bagaimana hal itu bisa disalahgunakan," kata Edmon.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar menilai pasal-pasal yang perlu direvisi dari UU ITE kebanyakan adalah yang berhubungan dengan pidana, yaitu pasal 27, 28 dan 29.
Pasal-pasal tersebut dijuluki "pasal karet" karena seringkali menimbulkan multitafsir ketika diimplementasikan.
Tak hanya tentang pasal yang berkaitan dengan tindak pidana, ELSAM juga mempertanyakan ketentuan mengenai tata kelola konten internet dan sejumlah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang belum direspons UU ITE, misalnya tentang penggunaan kecerdasan buatan dan soal disinformasi.
"Di Indonesia selalu ada perdebatan tentang aturan disinformasi, belum ada rujukan yang komprehensif dan detail, selama ini tindakannya selalu pidana," kata Wahyudi.
Baca juga: Anggota DPR: Muatan Pasal 27 UU ITE tidak merujuk KUHP
Kata warganet
Wacana revisi UU ITE yang digulirkan Presiden Jokowi memantik diskusi publik di jagat maya, termasuk di mikroblog Twitter.
Peneliti media sosial Ismail Fahmi, berdasarkan analisis percakapan di Twitter melihat warganet merasa UU ITE perlu direvisi karena undang-undang ini dibutuhkan di era digital.
Hasil penelitiannya, menggunakan alat Drone Emprit yang ia kembangkan, menunjukkan percakapan publik tentang revisi UU ITE sangat tinggi ketika Presiden Joko Widodo mengutarakan wacana tersebut pada pertengahan Februari.
Data yang ia peroleh, percakapan di Twitter tentang revisi UU ITE mendekati 25.000 cuitan pada 16 Februari.
Percakapan langsung turun ke bawah 15.000 cuitan pada 18 Februari, atau hanya berselang dua hari setelah wacana mengemuka.
"Banyak yang pro revisi UU ITE," kata Ismail kepada Antara.
Kelompok yang pro revisi UU ITE umumnya berasal dari kalangan publik, aktivis, lembaga swadaya masyarakat hingga media. Sementara mereka yang berpendapat kontra terhadap revisi UU ITE, berasal dari pemerintahan.
Baca juga: Herman Hery: Revisi UU ITE-KUHP sangat krusial dilakukan
Revisi atau tidak?
Edmon melihat tidak perlu membuat pasal baru untuk UU ITE, namun, ketika pasal-pasal lama tidak optimal, maka haru ada pasal yang merupakan kualifisir dari kejahatan yang ada.
Ia mencontohkan kualifisir pasal berdasarkan yang sudah ada, ketika di KUHP terdapat pasal mengenai penghinaan, maka di UU ITE diperjelas bahwa penghinaan juga termasuk mendistribusikan dan membuat informasi tersebut bisa diakses.
Sementara bagi ELSAM, akan lebih baik jika ada amandemen menyeluruh karena masalah UU ITE tidak hanya soal pasal yang berkaitan dengan pidana.
"Kalau didorong amandemen, akan lebih baik ketika amandemen menyeluruh, tidak terbatas hanya untuk pasal yang berkaitan dengan pidana. Apalagi kalau disempitkan perubahan untuk pasal 27 ayat 3 atau pasal 28 ayat 2," kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, UU ITE saat ini bersifat sapu jagat alias mencakup semua hal tentang informasi dan transaksi elektronik sehingga beberapa hal tidak terperinci dan menimbulkan interpretasi.
Jika memang diamandemen secara menyeluruh, perlu diperhatikan juga model legilasi seperti apa untuk undang-undang ini, apakah bersifat sapu jagat seperti sekarang ini atau diturunkan ke beberapa legislasi, misalnya ada undang-undang khusus tentang kejahatan siber dan satu undang-undang khusus tentang transaksi elektronik.
Pun ketika dituangkan dalam satu undang-undang seperti UU ITE sekarang, perlu dipastikan juga tidak menimbulkan multitafsir lagi.
Berbicara mengenai kebebasan berekspresi, isu mengenai ini juga berkaitan dengan UU ITE, Edmon mengingatkan bahwa dalam konvensi International Covenant on Civil and Political Rights, kebebasan berekspresi tidak berarti bebas mutlak, tidak ada aturan sama sekali.
Dalam kebebasan berekspresi, ada kewajiban dan tanggung jawab untuk menghargai orang lain.
"Jadi kebebasan itu bukan absolut, tidak boleh disalahgunakan untuk menyerang orang lain," kata Edmon.
Baca juga: Revisi UU ITE dan upaya menjaga ruang digital tetap beretika
Tim Kajian UU ITE
Pemerintah merespons isu revisi UU ITE ini dengan membentuk Tim Kajian UU ITE beranggotakan perwakilan dari tiga kementerian, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Kementerian Komunikasi dan Informatika; dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Tim ini bertugas mengkaji pasal-pasal yang selama ini dianggap publik perlu direvisi.
Pengarah Tim Kajian UU ITE terdiri dari Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G. Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Tim pelaksana UU ITE dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo, terbagi menjadi Sub Tim I Perumus Kriteria Penerapan UU ITE, yang diketuai Staf Ahli Menkominfo bidang Hukum Henri Subiakto dan Sub Tim II Telaah Substasi UU ITE oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana.
Pertengahan Maret lalu, Tim Kajian UU ITE bertemu dengan pakar, baik ahli hukum hingga aktivis pegiat kebebasan berekspresi, hingga perwakilan publik seperti selebritas Nikita Mirzani dan pembawa acara Deddy Corbuzier untuk dimintai masukan seputar regulasi tersebut.
Baca juga: Literasi digital dan revisi UU ITE di mata Gen Z
Baca juga: Mendamba UU ITE yang menjamin kebebasan berpendapat
Baca juga: Revisi UU ITE perlu pertimbangan di tengah pesatnya pengguna
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021