Jakarta (ANTARA News) - Kurang dari dua bulan, jumlah pengunjung paviliun Indonesia pada ajang bergengsi "World Expo" di Shanghai, China, telah menembus angka dua juta orang.
Jumlah tersebut sama dengan dua pertiga dari target awal pengunjung paviliun Indonesia sebanyak tiga juta orang. Padahal "World Expo" atau Pameran Dunia -- yang menjadi arena pamer diri hampir seluruh negara itu berlangsung selama enam bulan, yaitu mulai 1 Mei sampai 31 Oktober 2010.
"Kami juga tidak menyangka, jumlah pengunjung melebihi perkiraan," ujar Direktur Paviliun Indonesia Widharma Raya Dipodiputro ketika ditemui di sela-sela pameran itu.
Letak yang strategis dekat dengan stasiun kereta api bawah tanah (subway) Shibo, serta bangunan yang lebih besar dengan luas 2.200 meter persegi dan tinggi empat lantai, membuat paviliun Indonesia langsung terlihat besar dibandingkan paviliun negara anggota ASEAN yang berada di sekitarnya.
Apalagi Indonesia mengusung konsep terbuka, sehingga pengunjung bisa melihat dari luar, arus orang yang masuk berjalan lancar meskipun cukup padat.
Ruang terbuka dan lapang, sangat penting mengingat jumlah pengunjung sangat ramai. Setiap hari jumlah pengunjung Pameran Dunia itu mencapai rata-rata 400 ribu orang, yang didominasi warga tuan rumah, China.
"Setiap hari sekitar 10-15 persen pengunjung `World Expo` berkunjung ke Indonesia, atau sekitar 40 ribu orang per hari," kata Wakil Direktur Paviliun Indonesia Pratito Soeharyo, menambahkan.
Jumlah kunjungan ke paviliun Indonesia tersebut, lanjut dia, hampir sama dengan paviliun Australia, yang berada di zona B, sama dengan Indonesia dan negara lain anggota ASEAN.
Kendati jumlah pengunjung paviliun Indonesia hampir sama dengan Australia hampir sama, namun tidak terlihat antrian panjang seperti yang terjadi di paviliun Australia.
"Konsep terbuka dan setiap pengunjung harus terus berjalan mengikuti `ramp` (jalur pengunjung), membuat kunjungan yang ramai sekalipun tidak menyebabkan kemacetan di dalam paviliun," kata Tito, sapaan Pratito.
Setiap pengunjung, lanjut dia, dapat menikmati perjalanan, keragaman hayati dan budaya, serta Indonesia terkini, dalam 18 menit.
Antrian di paviliun Indonesia maupun Australia, relatif lebih pendek dibandingkan dengan paviliun Arab Saudi, yang bisa memakan waktu tunggu sampai delapan jam.
"Kami datang sejak pukul 09.30 pagi, tapi sampai saat ini masih di sini," ujar wanita pengunjung dari China yang ingin masuk ke paviliun Arab Saudi. Wanita itu masih berdiri di lokasi antrian yang bertuliskan masih harus menunggu empat jam, padahal saat itu pukul 13.00 waktu Shanghai.
Ia mengatakan rela antri dalam waktu yang cukup lama dan berdesakan dengan pengunjung lainnya, karena ingin melihat paviliun yang dibangun dengan biaya termahal. Kabarnya, mendekati satu miliar dolar AS. "Selain itu saya melihat jumlah pengunjungnya banyak, jadi pasti bagus," ujarnya.
Hal yang sama juga dikemukakan pengunjung yang datang ke paviliun Indonesia. Mereka beralasan kunjungan yang banyak ke paviliun Indonesia mendorong mereka juga datang ke situ.
"Saya belum tahu dan belum pernah ke Indonesia. Tapi karena pengunjungnya banyak, kami jadi ingin tahu," ujar Chen Wen Hao, seorang pelajar berusia 18 tahun yang menjadi pengunjung ke-2 juta di paviliun Indonesia.
Pengunjung lainnya, Ali dari Iran mengaku ingin melihat Indonesia lebih jauh, setelah ia melihat pentas tari Palembang di gerbang masuk paviliun Indonesia.
"Tariannya bagus. Saya mengenal Malaysia, tapi belum banyak tahu Indonesia," ujar Ali yang datang bersama istri dan anak lelakinya. Ali ikut naik ke atas panggung ketika para penari turun mengajak penonton menari bersama.
Keragaman
Musik dengan tarian dari Indonesia yang dinamis memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang melintas di Zona B, tempat paviliun berbagai negara kawasan Asia Tenggara dan Oceania berada.
Banyak di antara pengunjung lebih memilih masuk ke Indonesia dibandingkan paviliun negara ASEAN lainnya. Selain antrian yang lancar, pertunjukan tari, dan keragaman yang dipertontonkan di awal paviliun mengundang mereka masuk lebih jauh.
Dari awal memasuki paviliun Indonesia, para pengunjung langsung diperkenalkan pada konsep keragaman Indonesia, tidak hanya alam, tapi juga tradisi dan budaya.
Indonesia memiliki sekitar 10 persen dari berbagai jenis flora dunia, 12 persen dari mamalia, 25 persen dari jenis ikan, 17 persen burung, serta 16 persen dari reptil dan binatang amphibi di dunia.
Keragaman lainnya dari Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta jiwa adalah perbedaan suku dan bahasa. Jumlah suku mencapai 300 dan 500 bahasa daerah.
"Keragaman itulah yang mewarnai perjalanan Indonesia hingga saat ini, menjadi warga dunia yang mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi, namun tetap santun dengan alam," kata Wakil Direktur Paviliun Indonesia Pratito Soeharyo menjelaskan konsep yang diusung Indonesia pada Pameran Dunia itu.
Diakuinya, konsep pembangunan dan tema paviliun " bio-diverse city" merupakan upaya mengikuti tema besar Pameran Dunia yang mengusung tema "better city, better life."
Menyesuaikan dengan tema besar yang diusung tuan rumah pada Pameran Dunia itu pula, maka Indonesia menerjemahkannya dalam bangunan yang didominasi bahan alam yaitu bambu. Bambu mendominasi bangunan yang didesain oleh Budi Lim, arsitek yang pernah mendesain Jalan Thamrin, Jakarta. Bilah bambu menjadi mewarnai langit-langit, pilar, dan pagar bangunan.
Rumpun bambu juga dipancangkan di atas atap bangunan, sehingga menjadi ikon paviliun Indonesia, yang bisa terlihat dari jalan layang Lubu, yang jaraknya sekitar 30 menit dari bandara Pudong.
"Bambu hidup dalam kelompok seperti masyarakat Indonesia, tumbuhan itu kuat, bisa merunduk diterpa angin, namun tegak kembali. Begitu pula lah Indonesia," kata Pratito.
Pengunjung penyuka seni, akan menikmati keragaman alam dan budaya yang tampilkan Indonesia. Ada alat musik tradisional, seperti cesando, berbagai jenis suling, sampai pada alat bertani tradisional dan warisan budaya lainnya, seperti replika borobudur.
Namun Indonesia tidak berhenti pada tampilan tradisi dan kejayaan masa lalu. Menjelang akhir perjalanan di paviliun, pengunjung bisa melihat pembangunan yang dicapai Indonesia dalam bentuk gambar gedung-gedung pencakar langit.
Bagi masyarakat Indonesia yang melihat paviliun tersebut akan merinding, seakan dikenalkan pada akar budaya kita. Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Taruna K menilai paviliun tersebut digarap secara matang.
"Ini baru yang namanya promosi dan `marketing` Indonesia, sangat serius dan `integrated`. Saya bangga pada paviliun ini dan (paviliun) menunjukkan antusias yang besar dari masyarakat (Indonesia)," ujarnya.
Menurut Wakil Direktur Paviliun Indonesia, Pratito, tidak hanya orang Indonesia yang bangga pada paviliun tersebut. "Seorang pemilik Museum di Perancis, bahkan secara khusus datang ke kantor kami menyatakan salut pada konsep paviliun Indonesia," ujarnya.
Diakuinya, tetap ada kekurangan pada paviliun tersebut, antara lain seperti yang dikritisi Taruna yaitu tidak adanya brosur atau selebaran promosi pariwisata Indonesia. "Masih ada waktu untuk memperbaiki kekurangan itu," ujar Tito.
Tidak Kalah
Meski ada kekurangan, tampilan dan konsep yang dikembangkan Indonesia dalam ajang pamer diri berbagai negara itu, tidak kalah dengan negara lain, terutama di kawasan ASEAN. Bahkan lebih banyak dikunjungi dibandingkan Brunei Darussalam dan Kamboja, yang berada di sebelahnya, serta Philipina.
Bahkan dengan Malaysia -- yang menampilkan paviliun berbentuk tanduk kerbau, mirip rumah gadang -- penampilan Indonesia tidak kalah sama sekali. Malaysia hanya menampilkan foto, lukisan, dan promosi produk.
Demikian pula dengan Australia. Kendati biaya pembangunan paviliun Negeri Kangguru itu menelan biaya sampai 200 juta dolar Australia, Indonesia dengan biaya 20 juta dolar masih lebih mencerminkan citra seni budaya yang tinggi serta obsesi menuju masa depan ke arah urbanisasi yang lebih santun terhadap alam tanpa meninggalkan tradisi.
Juga Indonesia tidak kalah dari India yang merupakan negara dengan potensi ekonomi dan penduduk yang besar, serta kebudayaan yang tinggi. India justru tampil lebih sederhana dan mengambil banyak tempat dalam bangunannya untuk berjualan produk mereka, mulai dari makanan sampai kerajinan dan pariwisata.
Konsep keragaman yang diusung Indonesia juga tidak kalah dengan tuan rumah China. Meskipun dari kemegahan bangunan, China adalah yang termegah di arena Pameran Dunia 2010.
China dengan kekuatan devisa yang mencapai triliunan dolar AS membangun paviliun berwarna merah -- mirip Kota Terlarang -- dengan 16 lantai, yang isinya tentang berbagai propinsi negara itu.
Namun jangan bandingkan Indonesia dengan negara maju seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang, yang menampilkan pencapaian kecanggihan teknologi mereka capai dengan visi teknologi ramah lingkungan.
Kendati AS menggunakan teknologi tinggi dengan teater yang canggih, namun agaknya konsep yang diurung Amerika Serikat mirip Indonesia. Dengan film berdurasi sekitar 5-10 menit, para pengunjung -- yang memasuki paviliun negara adi daya itu -- dapat melihat keragaman masyarakat negeri itu, visi dan semangat mereka menuju kehidupan lebih baik dengan konsep ramah terhadap lingkungan.
Pameran Dunia sendiri pada awalnya merupakan pameran industri yang dicapai suatu negara. Pada periode tahun 1851 sampai 1983, Pameran Dunia menjadi ajang unjuk kemajuan industri, sehingga pada banyak penemuan, seperti telepon, dipamerkan di arena itu.
Namun Pameran Dunia kemudian bertransformasi menjadi ajang pertukaran budaya (1939 - 1991) dan kemudian bertransformasi lagi menjadi ajang pencitraan bangsa sejak 1992 sampai sekarang.
Oleh karena itulah Pameran Dunia ke-53 di China itu dimanfaatkan Indonesia untuk memperbaiki citra nusantara di dunia, khususnya terhadap masyarakat China.
"Kasus (tragedi) 1998 memang masih membekas, tapi itu sudah diluruskan oleh orang-orang (China) mereka sendiri, yang sudah berinvestasi di Indonesia," kata Tito, menanggapi pertanyaan apakah keberadaan paviliun termasuk dalam upaya Indonesia memperbaiki citra setelah tragedi 1998.
Mendag Mari E Pangestu sendiri pernah mengakui keikutsertaan Indonesia, juga merupakan simbol penting bagi hubungan diplomatik Indonesia dengan China, mengingat tahun ini hubungan kedua negara menapaki usia 60 tahun.
"Partisipasi Indonesia (pada Pameran Dunia di Shanghai) tersebut menjadi simbol penting hubungan kedua negara yang lebih maju," ujar Ketua Panitia Indonesia untuk Pameran Dunia 2010 itu.
Apapun tujuan Indonesia mengikuti pameran tersebut, setidaknya kehadiran paviliun Indonesia membuat lebih banyak masyarakat internasional, khususnya warga China, bisa mengenal lebih jauh nusantara dengan keanekaragaman yang telah mewarnai dunia. (*)
(T.R016/009)
Oleh Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010