Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Nasir, mengatakan, kasus Andi Nurpati bisa menjadi momentum partai politik masuk ke Komisi Pemilihan Umum yang mengancam pemilu 2014.
"Momen ini bisa dijadikan partai-partai politik untuk masuk ke KPU dan mengembalikan partai politik masuk ke KPU secara langsung yang membuat pemilu 2014 terancam. Kalau partai politik menjadi anggota KPU saya pastikan hasilnya sangat buruk," katanya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, kasus masuknya Anggota KPU yang masih aktif Andi Nurpati ke Partai Demokrat menjadi amunisi bagi para politisi bahwa selama ini KPU yang berasal dari orang luar partai ternyata juga tidak bisa independen. Untuk itu, mereka akan menuntut perubahan undang-undang agar orang dari partai politik bisa masuk ke KPU.
"Kalau ini terjadi maka yang terjadi adalah kita `set back` (langkah mundur) seperti tahun 1999 di mana penyelenggara pemilu adalah partai politik," katanya.
Ia menjelaskan, pemilu 1999 merupakan pemilu penuh kekacauan. "Partai politik sampai sulit untuk mengambil keputusan, sampai akhirnya Presiden Habibie yang memutuskan," katanya.
Ia mengemukakan kekacauan juga akan terjadi bila nantinya anggota parpol masuk ke KPU yang saat ini hanya tujuh orang. "Siapa yang berhak masuk, siapa yang menentukan, hasilnya malah terjadi politik dagang sapi di belakangnya, dan intervensi partai politik terhadap KPU semakin besar," katanya.
Menurut dia, melihat situasi saat ini maka diperlukan adanya penguatan dalam KPU saat ini. Pertama seleksi masuk anggota KPU sebagai pintu masuk dan kedua peraturan yang membatasi saat menjadi anggota KPU.
Menurut dia, pada tahapan awal, Presiden memilih tim seleksi berdasarkan kriteria yang tinggi dan sekaligus membuka partisipasi publik. Tim seleksi ini bekerja untuk mencari calon anggota KPU.
"Mereka yang mendaftar sebagai anggota KPU tersebut harus memiliki integritas dan kapabilitas, serta rekam jejak yang bagus. Mereka yang diterima harus punya pengalaman dan benar-benar tahu tentang penyelenggaraan pemilu, jadi bukan sekedar tokoh atau rektor, tapi memang tahu cara menyelenggarakan pemilu," katanya.
Setelah itu, menurut dia, orang yang terseleksi nantinya diusulkan Presiden kepada DPR dalam bentuk satu paket langsung atau tujuh orang anggota KPU.
"DPR nanti mengonfirmasi apakah mereka bisa diterima atau tidak," katanya.
Ia mengatakan, bila nantinya tidak diterima Presiden mengusulkan paket yang kedua. "Pada paket ini bisa saja beberapa orang yang sebelumnya diusulkan, diusulkan kembali, namun dengan komposisi berbeda," katanya.
Namun, menurut dia, bila ternyata ditolak juga oleh DPR, maka usulan paket ketiga oleh presiden tidak bisa ditolak lagi oleh DPR. "Karena kita butuh batasan waktu, kalau ditolak terus bisa tidak ada KPU kan?," katanya.
Kedua, menurut dia, ketika menjadi anggota KPU, maka perlu adanya aturan dan sanksi yang jelas dan tegas terkait dengan pelanggaran. Ia mengatakan, seorang anggota KPU tidak boleh berpindah menjadi anggota parpol, apa pun alasannya.
"Perlu ada sanksi pidana, denda dan juga pelarangan menjadi pejabat publik dan partai politik bila dia melanggar aturan itu," katanya.
Sementara itu, politisi Golkar Ferry Mursyidan Baldan menyangkal bahwa masuknya orang partai berpengaruh terhadap independensi KPU. Menurut dia, independensi bukan berarti nonpartisan, namun independensi lembaga terhadap partai politik.
"Jadi siapa pun dia ketika masuk ke KPU harus independen, jadi tidak perlu ada pembedaan nonpartisan," katanya.
Politisi dan anggota DPR asal PDI Perjuangan, Arief Wibowo, menyatakan, dia setuju bahwa tidak perlu dibedakan antara partisan dan nonpartisan. Sebab kasus Andi Nurpati menjadi salah satu contoh. Meski Andi Nurpati ketika masuk berasal dari nonpartisan, namun kemudian menjadi anggota partai politik.
"Ini perlu dipertanyakan, bisa saja nonpartisan tapi punya kedekatan nantinya, yang dipertanyakan adalah anggota nonpartisan itu apa tahan terhadap tekanan politik dari partai penguasa, pemerintah," katanya.
Untuk itu, menurut dia, siapa pun yang masuk maka ia harus dibatasi oleh aturan yang jelas dan sanksi tegas seperti pidana bila dia melanggar. (*)
(T.M041/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010