Padang (ANTARA News) - Ulama Sumatera Barat (Sumbar), Buya Mas`oed Abidin menilai, belum saatnya TNI diberikan hak pilih meskipun baru diterapkan sepuluh tahun mendatang.
"Demokrasi Indonesia saat ini belum mapan, sehingga hak pilih TNI perlu dipikir ulang untuk diberikan," kata Mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumbar, di Padang, Kamis.
Menurut Buya, demokrasi Indonesia masih menuju ke arah pemantapan sehingga masih banyak yang harus ditempuh, diantaranya sistem politik dan ketatanegaraan.
Tidak dipungkiri, tambahnya, sejak digulirkan reformasi memang demokrasi yang diagungkan. Namun, TNI belum tepat diikutkan dalam pemilu.
Tentang kekhawatiran TNI akan nenjadi alat bagi kekuatan portai politik dalam pesta demokrasi, ia Buya mengatakan, mungkin saja terjadi.
"Jangan-jangan ketika TNI sudah ada hal pilih menjadi rebutan bagi partai, dampaknya tentu bisa mengganggu ketahanan nasional karena yang tumbuh berkembang ditubuh TNI monoloyalitas," katanya.
Misalkan saja, TNI punya hak pilih, tentu ketika kampanye partai A akan ada didalamnya Panglima, dan kampanye pula partai B sudah ada Panglima, begitu juga di partai-partai lainnya.
Ketika itu terjadi, katanya, dampak tarik ulur kepentingan panglima demi partainya masing-masing akan menimbulkan potensi terkotak-kotaknya anggota TNI.
Bahkan, bisa muncul ada Panglima Barat, Panglima Timur dan Panglima Selatan dan namanya nanti sehingga internal TNI bisa tidak solid lagi.
Padahal, katanya, kesolidan TNI merupakan suatu kekuatan dalam upaya menjaga ketahanan nasional, jika tidak bisa mengacam disintegrasi bangsa.
Justru itu, menurut Buya, wacana memberi hak pilih TNI harus dipikirkan para ahli tata negara untuk melakukan kajian sehingga pertimbangan lebih matang.
Selain itu, diminta pemerintah dan DPR RI perlu memikir ulang untuk memberikan hak pilih TNI.
(T.KR-SA/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010