Jakarta (ANTARA) - PT East West Seed Indonesia (Ewindo), perusahaan benih sayuran tropis hibrida tengah mengembangkan varietas khusus untuk petani hidroponik seiring kian maraknya pertanian perkotaan (urban farming) selama pandemi COVID-19.
"Benih untuk hidroponik harus dirancang tahan terhadap penyakit, daya tumbuh dan produktivitasnya tinggi, varietas tersebut juga akan memiliki bobot lebih besar sehingga lebih menguntungkan bagi petani hidroponik," kata Managing Director Ewindo, Glenn Pardede di Jakarta, Kamis.
Glenn optimis produksi benih unggul sayuran khusus hidroponik segera masuk ke pasar berkat dukungan ahli-ahli pemulia tanaman serta teknologi mutakhir "molecular marker".
Ewindo yang di kalangan petani dikenal merek "Cap Panah Merah" telah memproduksi lebih dari 150 varietas benih sayuran yang memberikan hasil panen melimpah.
Glenn mengatakan benih yang dibudidayakan untuk hidroponik sejauh ini masih berupa sayuran daun seperti kangkung, bayam, pakcoy, kailan, sawi dan “lettuce”.
"Salah satu yang sangat digemari para pegiat hidroponik adalah Pakcoy Nauli F1 yang dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga tinggi, memiliki batang yang besar dan kokoh serta warna yang menarik," ujarnya.
Baca juga: PKK Jaksel panen sayuran hidroponik di Manggarai Selatan
Baca juga: PKK Sunter Agung panen 40 kilogram sayuran
Fenomena bercocok tanam secara hidroponik juga dirasakan dari penjualan secara daring yang mengalami kenaikan sampai dengan 10 kali lipat. Data ini sejalan dengan aktivitas pertanian perkotaan yang mengalami kenaikan sampai dengan lima kali lipat.
Menurut Glenn, meskipun budidaya hidroponik yang saat ini tengah menjamur di kota-kota besar di seluruh Indonesia sebagian besar masih sebatas hobi, namun memiliki prospek yang menguntungkan.
Di sisi lain, tingkat konsumsi sayuran di Indonesia yang masih rendah, yaitu 33 kilogram per kapita per tahun. Padahal sejumlah negara lain, di antaranya China konsumsi sayurannya sudah mencapai 234 kilogram per kapita per tahun.
Berdasarkan angka itu, diperkirakan Indonesia dalam sepuluh tahun mendatang akan meningkatkan konsumsi sayurannya menjadi 64 kilogram per kapita per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan sayuran dalam jangka panjang selain dipasok dari petani juga didapat dari hidroponiker (pelaku hidroponik).
Glenn mengatakan untuk belajar bertanam sayuran hidroponik saat ini tersedia banyak tutorial melalui kanal-kanal Youtube. Persoalannya yang menjadi kendala selama ini adalah pemasaran. Apabila pemasarannya jelas dipastikan hidroponik tidak lagi sekedar hobi, tetapi sebagai penghasilan.
Berdasarkan perhitungan internal, usaha hidroponik yang "sustainable" adalah dengan minimum 5000 lubang, dengan nilai investasi Rp 50 juta akan memberikan penghasilan bersih Rp5 juta per bulan atau akan mencapai break even point (BEP) selama 10 bulan.
"Di beberapa tempat petani hidroponik berada di bawah komunitas dan koperasi sehingga memudahkan untuk penjualan saat panen. Produksi dari hidroponik ini dipasarkan sebagai produk sayuran 'branded' di pasar-pasar modern," ungkap Glenn.
Baca juga: Jakarta Selatan panen serentak produk pertanian dan perikanan
Baca juga: Mendorong warga Jakarta mencintai sayuran
Ketua Perhimpunan Hidroponik Indonesia (Perhindo) Jatmiko Pambudi mengatakan wadah yang baru terbentuk pada 26 Maret 2021 ditujukan untuk memahami teknologi.
Penguasaan teknologi dalam artian bagaimana memberikan nutrisi yang baik dan pengairan yang cukup untuk memberikan hasil yang optimal menjadi hal penting dalam bertani hidroponik.
Hal ini karena banyak dari petani hidroponik tidak memiliki latar belakang bercocok tanam, sebagian besar karena otodidak dari tutorial yang banyak terdapat di media sosial atau dari buku-buku.
Dengan 300 anggota, Perhindo yang sudah ada di 12 provinsi ingin melakukan sinergi dengan pemangku kepentingan di berbagai bidang seperti akademisi, pelaku pasar, pelaku bisnis dan pemerintah.
Jatmiko mengatakan untuk memulai usaha hidroponik tidak bisa dipatok investasi minimal dan luas lahannya. Semuanya bergantung kepada produk apa yang ingin ditanam serta berapa harga komoditi di daerah itu.
"Seperti kalau ingin bertanam kangkung di Jakarta dengan di Kalimantan, misalnya, tidak bisa disamakan. Harga komoditi tersebut di kedua daerah itu berbeda termasuk luasan lahannya," ujar dia.
Jatmiko juga mengatakan kalau persepsi masyarakat selama ini budidaya hidroponik hanya sekedar bertanam sayuran daun saja, padahal banyak potensi yang dapat digarap seperti melon, semangka, timun, labu dan sebagainya.
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021