"Pikiran pengembalian hak pilih anggota TNI/Polri adalah `setback` (langkah mundur) dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Jika dahulu militer terjun politik memakai baju dwifungsi kini militer merasa lebih cerdas degan menggunakan `politic electoral` (hak pilih politik). Sebaiknya pikiran seperti ini digusur saat ini," katanya di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan, saat ini transisi demokrasi masih tersendat dan TNI masih memiliki persoalan lama tentang pelanggaran HAM berat yang belum selesai.
Untuk itu, yang dibutuhkan menurut dia adalah penguatan reformasi di tubuh TNI/Polri. "Selama 10 tahun terakhir masih banyak soal yang harus dibenahi. Keberadaan sejumlah UU yang terkait institusi ini belum sepenuhnya dijalankan dan mutlak dituntaskan. Misalnya perihal kesejahteraan TNI/Polri, bisnis tentara, pengadaan peralatan dan pengadilan militer," katanya.
Selain itu, menurut dia, saat ini supremasi sipil dari demokrasi Indonesia masih rentan terhadap potensi intervensi. Hal ini membahayakan demokrasi yang baru saja berkembang.
"Pragmatisme politik politisi sipil sangat berpotensi menciptakan ruang tarik menarik untuk memikat TNI/Polri yang merugikan bangsa dan negara," katanya.
Ia menambahkan, budaya militer TNI/Polri yang belum sepenuhnya mapan dalam demokrasi juga masih menjadi ancaman. Apalagi menurut dia, dengan kematangan politisi sipil yang belum teruji hingga saat ini.
"Prasyarat yang lazim diajukan terkait pemenuhan hak politik TNI/Polri di negara yang baru keluar dari otoritarianisme adalah stabilitas politik, supremasi sipil, infrastruktur politik yang kokoh dan kematangan politik sipil sehingga tangguh atas segala intervensi tentara," katanya.(*)
(T.M041/J006/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010