Khartoum (ANTARA News/Reuters) - Sejumlah orang bersenjata membunuh tiga prajurit penjaga perdamaian asal Rwanda di wilayah Darfur, Sudan, Senin, dalam serangan terakhir terhadap pasukan PBB-Uni Afrika (UNAMID) yang beroperasi di daerah itu, kata seorang pejabat misi tersebut.
Menurut pejabat itu, pasukan penjaga perdamaian diserang sekitar pukul 11.30 waktu setempat (pukul 15.30 WIB) ketika mereka menjaga para pekerja yang sedang membangun sebuah pangkalan baru bagi pasukan UNAMID di dekat permukiman Niertiti, di daerah pegunungan Jabel Mara Timur, negara bagian Darfur Barat -- lokasi bentrokan-bentrokan gerilya sebelumnya tahun ini.
"Tiga prajurit penjaga perdamaian misi itu tewas dan seorang lagi cedera serius hari ini dalam tembak-menembak dengan sejumlah penyerang yang tidak dikenal," kata pejabat yang menolak disebutkan namanya itu kepada Reuters.
Sekitar 20 penyerang yang menyamar melepaskan tembakan tanpa peringatan ke arah pasukan UNAMID, kata pejabat itu.
"Pasukan penjaga perdamaian membalas dan tembak-menembak berlangsung sekitar satu jam," kata pejabat itu. Prajurit Rwanda yang terluka dikabarkan berada dalam kondisi kritis.
Pejabat itu mengatakan, 27 polisi dan prajurit UNAMID tewas dalam serangan-serangan sejak pasukan itu beroperasi di Darfur pada 2008.
Pasukan UNAMID, yang sebagian besar berasal Afrika, mengambil alih tanggung jawab dari misi Uni Afrika dua tahun lalu. Pasukan itu kini masih belum mencapai jumlah yang diharapkan sebesar 26.000 prajurit dan akan tetap menjaga perdamaian di daerah seluas Spanyol itu.
Kegagalan perjanjian Februari antara Khartoum and kelompok gerilya utama JEM berpuncak pada konfrontasi militer yang mengakibatkan kematian dalam jumlah terbesar dalam waktu satu bulan, Mei.
Pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB-Uni Afrika di Darfur itu mengatakan, hampir 600 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan gerilya dan suku pada Mei, yang menjadikannya sebagai bulan paling mematikan selama lebih dari dua tahun.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.
Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu.
Pemberontak Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.
Pada Februari tahun lalu, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei 2009, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.
Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret 2009 memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.
Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran tujuh tahun di Darfur telah menewaskan 300.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas. (M014/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010