Elang jawa, sesuai dengan namanya, adalah hewan endemik yang habitat aslinya berada di Pulau Jawa yang saat ini penyebarannya kini terbatas di hutan-hutan primer

Sukabumi, Jabar (ANTARA) - Masyarakat Indonesia mengenal Garuda Pancasila sebagai lambang negara yang terpampang di sekolah-sekolah dan kantor-kantor kementerian atau lembaga negara dengan warna keemasan, memiliki perisai dan mencengkeram pita bertuliskan "Bhineka Tunggal Ika".

Tapi ada ciri khas lain yang dimiliki oleh Garuda Indonesia, yang resmi menjadi lambang negara sejak 11 Februari 1950, yaitu jambul di kepala hewan mitologis tersebut. Jambul tersebut muncul setelah dilakukan penyempurnaan dari desain sang perancang lambang Sultan Hamid II.

Garuda sendiri adalah burung mitologis yang merupakan wahana dari Dewa Wisnu, salah satu tiga dewa utama Hindu, dan memiliki peran penting dalam agama Buddha. Kisah Garuda juga tertulis di kitab kuno seperti Mahabharata dan Purana. Selain Indonesia, garuda juga menjadi lambang negara bagi Thailand.

Jambul dari Garuda Pancasila sendiri memiliki kemiripan dengan salah satu hewan endemik di Pulau Jawa yang dikenal sebagai elang jawa (Nisaetus bartelsi).

Elang jawa, sesuai dengan namanya, adalah hewan endemik yang habitat aslinya berada di Pulau Jawa yang saat ini penyebarannya kini terbatas di hutan-hutan primer yang berada di berbagai taman nasional di Jawa.

Semakin sedikit luasan hutan primer di Pulau Jawa yang diakibatkan perkembangan dan pembangunan masif selama puluhan tahun terakhir menjadi salah satu alasan spesies itu kini masuk dalam kategori terancam menurut daftar Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources/IUCN).

Salah satu wilayah yang ditujukan untuk memastikan keberadaan elang jawa tetap terjaga di habitatnya adalah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang meliputi tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur.

Taman nasional dengan luas 24.270,80 hektare (ha) yang terbagi dalam berbagai zona dengan yang terluas adalah zona inti dengan luas 10.460 ha.

Tidak hanya Elang jawa, TNGGP juga menjadi tempat konservasi fauna endemik Jawa lainnya seperti owa jawa (Hylobates moloch) dan macan tutul (Panthera pardus) yang juga masuk kategori terancam punah karena perburuan liar.

Untuk itu upaya konservasi terus dilakukan oleh TNGGP untuk memastikan keberadaan flora dan fauna yang berada di dalam kawasan tersebut, apalagi mengingat TNGGP berbatasan langsung dengan pemukiman padat penduduk dengan terdapat puluhan desa hidup berdampingan dengan taman nasional.

Kepala Resort Cibodas TNGPP Sobirin Yuliawan mengatakan berbagai upaya dilakukan agar hewan-hewan endemik itu dapat terus bertahan yaitu dengan mempertahankan kelestarian dari hutan primer dalam kawasan tersebut.

Salah satu caranya adalah memastikan tidak ada aktivitas perladangan di zona inti dari TNGGP yang menjadi habitat bagi flora dan fauna endemik.

Pria yang sudah bekerja di TNGGP selama 17 tahun itu mengatakan masyarakat sekitar juga sudah mulai menyadari pentingnya kebenaran taman nasional itu beserta para hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya.

Kini aktivitas perburuan liar hewan-hewan di Resort Cibodas TNGGP oleh masyarakat sekitar sudah nyaris hilang.

"Kalau di sini setahu saya tidak ada karena mata pencaharian masyarakat di sini adalah berdagang dan pemandu wisata. Jadi mereka tidak perlu berburu elang karena sumber pencahariannya lebih cepat di sektor lain," kata Sobirin.

Untuk elang jawa, ketika menemukan sarangnya maka petugas TNGGP akan memantau dari jauh untuk memastikan habitatnya tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang jika terjadi dapat membuat fauna itu berpindah lokasi.

Selain itu, mereka juga memastikan agar hewan-hewan endemik tersebut memiliki pasokan makanan yang cukup.

Upaya itu tidak sia-sia. Menurut Kepala Balai Besar TNGGP Wahju Rudianto pada 2020 tercatat ada empat ekor macan tutul yang terdeteksi di situs pemantauan menggunakan "camera trap", meningkat dari tiga ekor pada 2019.

Untuk elang jawa terpantau tujuh ekor pada 2019 yang meningkat menjadi 10 ekor pada 2020 sedangkan owa jawa terdapat 162 ekor.

TNGGP tidak hanya memiliki tiga hewan endemik itu dengan hasil inventarisasi satwa liar di sembilan resort menemukan terdapat 27 jenis mamalia, 120 jenis burung, 25 jenis herpetofauna.

Selain itu terdapat pula fauna langka seperti bunga edelweis (Javanese edelweiss) yang padangnya bisa ditemukan di ketinggian 2.750 meter dan berada di timur puncak Gunung Gede.

TNGGP saat ini tengah berusaha melakukan budi daya edelweis agar para pendaki tidak harus memetiknya dari gunung, sebuah kegiatan yang terlarang.

"Untuk edelweis ini bagaimana budidaya edelweis berhasil dan ini menjadi ladang bagi pemberdayaan masyarakat ke depannya nanti. Jadi para pendaki dan wisatawan tidak harus mengambil di alam tapi disediakan bibit edelweis hasil budidaya kerja sama dengan masyarakat," kata Wahju.


Nilai tambah

Upaya konservasi tidaklah mudah termasuk dengan pengelolaan taman nasional yang berada di seluruh Indonesia.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mengatakan luasnya taman nasional juga memunculkan beberapa kendala, termasuk keterbatasan dalam personel dan anggaran.

Ia menyebut majunya TNGGP, salah satu faktornya adalah karena jumlah pengunjung yang besar, mengingat kawasan itu menarik wisatawan dari berbagai kota besar yang ada di sekitarnya seperti Jakarta, Bogor dan Bandung.

TNGGP pada 2019 menghasilkan Rp9,2 miliar sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), meski jumlah itu menurun menjadi Rp5,1 miliar pada 2020 karena pembatasan pengunjung akibat pandemi COVID-19.

Alue mengatakan bahwa banyak taman nasional di luar Jawa yang memiliki potensi besar seperti Tanjung Puting di Kalimantan yang terkenal karena sebagai pusat konservasi orang utan.

"Tugas kita adalah mempromosikan itu ke depan menjadi destinasi unggulan juga," katanya.

Konsep ekowisata menjadi salah unsur penting untuk mengelola berbagai taman nasional karena mengedepankan pemanfaatan alam tanpa ekstraksi yang merusak.

Kenikmatan hutan lewat penyembuhan via hutan atau "forest healing" kemudian menjadi konsep penting untuk mendorong ekowisata, yang bisa menjadi penggerak ekonomi hijau Indonesia.

"Jadi bisa menikmati satwa endemis yang ciri khas di daerah itu seperti orang utan dan lain-lainnya juga aspek lain kita tambahkan di dalam tagline kampanyenya yaitu hutan untuk penyembuhan," katanya.

Penambahan nilai ekonomi itu, kata dia, dapat mendorong ekowisata yang menerapkan ekonomi hijau bisa bersaing dengan ekonomi cokelat seperti tambang yang eksploitatif.

Dengan cara itu maka orang-orang akan merasa tidak perlu mengeksploitasi tapi bisa membuat alam yang lestari menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat sekitar dan pemerintah daerah secara khusus serta negara secara umum.

Baca juga: Konservasi Elang Jawa, ikhtiar menyelamatkan satwa endemik

Baca juga: Populasi satwa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak berkembang

Baca juga: Pusat Konservasi Elang Kamojang lestarikan populasi elang jawa

Baca juga: TSI Bogor kembangbiakan elang jawa

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021