Jakarta (ANTARA News) - Ketika mulai tahun 1990an industri China mengejar industri Jepang, ternyata bangsa Jepang tidak terlalu terkejut karena tempaan sumber daya manusia (SDM)-nya sudah lebih dari dua abad dalam hitungan sejarah dan budayanya.

Jadi pacuan antara Jepang dengan China negara tetangganya bukan baru-baru ini saja. Bangsa Jepang sudah penuh tempaan oleh para pemimpin mereka dalam lingkungan alam Jepang yang tidak terlalu bersahabat.

Kini pun kategori produk bermutu Jepang terhitung middle and higher end dibandingkan buatan China, Korea dan negara-negara tetangga lainnya, dan setiap kali membangun mutu yang lebih tinggi meskipun nilai/harganya jadi lebih mahal.

Perang Dunia pertama (PD I) dan kedua (PD II), kemudian menjelang Plaza Accord 1985, dan hasil pertemuan Kelompok Tujuh Negara (G-7), serta krisis 1990an membuahkan tekad sekaligus visi para pemimpin Jepang untuk menggugat diri maupun tidak terjebak kembali dalam kemunduran, tetapi terus mendayung maju.

Sejarah modern industri Jepang berlangsung sejak Restorasi Meiji tahun 1867. Era ini mengakhiri periode panjang isolasi dari dunia luar sejalan dengan awal industrialisasi yang diciptakan masyarakat Barat. Bangsa Jepang bangun dari keterbelakangan sebelum era Meiji, melalui proses yang keras dalam kebijakan menanamkan jiwa disiplin dan sikap hidup tidak mudah menyerah pada hambatan ketertutupan bangsa sebagai kelemahan dalam interaksi dengan dunia luarnya.

Proses industrialisasi eranya Meiji dengan industri besi baja, perkapalan dari baja (steel-hulled ships), peralatan listrik, peralatan mesin, mesin pertenunan dan pemintalan. Setelah itu melaju kearah keraganab produk, seperti kendaraan bermotor, arloji, kamera, radio, komputer, dan semi-konduktor.

Berkembangnya pemikiran pemasaran moderen Jepang terjadi setelah PD II, dan pesat di tahun 1960an. Masa itu Pemerintah Jepang menciptakan berbagai kebijakan yang diarahkan pada pemulihan ekonomi dengan memberi berbagai insentif, mulai dari pemulihan industri yang hancur dengan fasilitas kredit lunak dari dunia perbankan, pajak dan mendorong bangsa Jepang untuk tidak apatis setelah kekalahan perang. Salah satu hasil dari kebijakan ekonominya adalah munculnya (revival) masyarakat konsumsi massal (mass consumption society).

Perusahaan Jepang memperoleh dan mendayagunakan dari dunia Barat sejumlah pengetahuan produk: teknologi produk dan pengetahuan pemasaran terutama pasca-PD II. Pada landasan ini, banyak perusahaan Jepang menambahkan program Kaizen (manajemen mutu terpadu) dan biaya yang memungkinkan mereka mencapai pangsa pasar yang sangat besar dalam bisnis internasional berbagai bidang alat elektronika rumah tangga, audio, televisi, video tape recorder, mesin fotokopi dan faksimili, serta tentunya industri otomotif dan sejumlah hal lainnya.

Inilah salah satu alasan mengapa banyak perusahaan Jepang dalam menargetkan pasaran global mengenalkan produk baru yang memiliki keaslian dan mutu yang tinggi (originality and excellence).

Pertumbuhan produktivitas berasal dari perubahan dan sukses didasarkan pada manajemen perubahan secara efektif (effective management of change). Perubahan teknologi yang demikian cepatnya, makin pentingnya peringkat lunak (software), globalisasi pasar, dan pergeseran nilai nilai sosial akan mempengaruhi konsep manajemen dan produktivitas.

Sejak tahun 1970an Jepang ditandai sebagai “pesaing global baru" (new global competitor) dengan berbagai merek dagang, antara lain Suntory Ltd, Toyota Motor, Matsushita Electric, Honda, Sony, Hitachi, Yamato, Fuji Photo, Mitsui, Mitsubishi dan dalam dunia konstruksi ada Obayashi Gumi, berkibar diawali di Asia Timur dan merembes ke Eropa dan Amerika. Dalam bisnis perbankan, Bank of Tokyo, Fuji Bank, dan berbagai merger dengan merek baru sejak 1980an.

Posisi bersaing internasional yang kuat, dan banyak di antara mereka mengembangkan ekspor produk sesuai dengan tingkat teknologi yang mampu diserap oleh masyarakat yang dijadikan pangsa pasar Jepang. Kehebatan perusahaan Jepang sebagai pemasok yang unggul di pasaran dunia tidaklah instan, tapi melalui proses sebagai berikut:

1.Penelitian dan Pengembangan (Research and Development - R&D). Perusahaan Jepang awalnya memfokus produk dan atau bahan baku untuk industri berstandar mutu rendah sampai menengah (standard low or mid range items) dengan memasok teknologi dasarnya dari perusahaan menengah Amerika atau Eropa. Industri Jepang dengan keterampilan ber-R&D tidak berhenti sebagai "tukang las/soldir dan tukang jahit". Awalnya, anggaran untuk R&D senilai 3 hingga 4 persen dari biaya total produksi.

2.Kehebatan perusahaan Jepang dengan sikap merendah (low profile) memperbaiki teknologi produk, mendorong kinerja (performance), dan secara gradual meningkatkan mutu (level of quality), mula-mula memasuki segmen pasar mutu rendah untuk berbagai produk tertentu melaju ke segmen mutu tinggi (high end quality). Industrialis Jepang tidak membatasi diri pada sektor otomotif, dan memasuki sektor elektronik, teknologi informasi optik, fotografi, tekstil dan produk terkait (related products).

Sikap juang (makato) manusia Jepang makin memantapkan proses tanpa menonjolkan diri, yakni disiplin dengan kerjasama tim lintas fungsional, menghargai waktu pengembangan keterampilan, partisipasi dan keterlibatan, moral dan etos kerja, komunikasi menengah ke atas dan ke bawah (middle up and down).

Baik yang berada di tingkat pucuk pimpinan bisnis (Chief Executive Officer - CEO) hingga manajer menengah, maupun karyawan biasa, maka pola pikir bisnis Jepang adalah orientasi proses (process oriented) dalam mencapai tujjuan dalam waktu yang dijadwalkan (just-in-time).

Gerak langkah industri Jepang mulai 1980an membuat banyak industri Eropa dan AS gulung tikar untuk kemudian putar haluan melakukan merelokasi ke China. Aliansi yang digarap industri Barat dan Amerika Serikat (AS) itu untuk mempertahankan eksistensi merek, dan membangun merek baru juga diamati oleh para peneliti perusahaan/industri Jepang.

Inilah beberapa tantangan untuk para industrialis di Indonesia, yang sudah atau makin sibuk untuk mencermati gerak langkah pebisnis Jepang, dan tentunya China. (*)


*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Jepang dan Asia Timur; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Bob Widyahartono *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010