Di dalam Kota Kupang, sinyal bisa tapi harus mencari lokasi yang tepat
Kupang (ANTARA) - Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, terpaksa membayar uang Rp5 ribu untuk mengecas telepon selulernya di genset milik sejumlah warga karena listrik sampai sekarang belum menyala.
Aditya, seorang mahasiswa, di Kupang, Senin (5/4) malam, mengaku membayar Rp5 ribu untuk bisa mengecas telepon selulernya.
"Ini agar bisa tetap berkomunikasi dengan orang tua," katanya.
Meski telepon selulernya sudah menyala, belum tentu mereka bisa langsung berkomunikasi. Warga harus mencari lokasi yang masih bisa dijangkau sinyal telekomunikasinya.
"Di dalam Kota Kupang, sinyal bisa tapi harus mencari lokasi yang tepat," katanya.
Baca juga: Pohon tumbang masih tutupi sejumlah jalan di Kupang
Layanan listrik sampai berita ini diturunkan belum menyala karena banyak kabel yang tertimpa pohon tumbang sehingga satu-satunya harapan dari warga untuk mendapatkan setrum melalui genset.
Sementara itu, pohon tumbang hingga kini masih menutupi sejumlah ruas jalan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, setelah peristiwa cuaca ekstrem yang melanda wilayah tersebut.
Kepala Perum LKBN ANTARA Biro Nusa Tenggara Timur Bernadus Tokan, Selasa, melaporkan ruas jalan yang masih tertutup pohon yang tumbang, antara lain Jalan Soeharto, Piet A. Tallo, El Tari, Timor Raya, dan Jalan 40 di kawasan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Khususnya di Jalan 40 di kawasan Undana itu, sama sekali tidak bisa dilalui kendaraan. Pohon-pohon tumbang masih melintang di ruas jalan tersebut.
Petugas Pemerintah Kota Kupang saat ini masih terkonsentrasi memindahkan atau memotong serta menyingkirkan pohon yang tumbang di Jalan Piet A. Tallo dan El Tari.
Sejumlah warga berinisiatif mengatasi pohon tumbang di Jalan Soeharto dengan menggunakan peralatan seadanya.
Baca juga: Kota Kupang bagaikan kota mati
Baca juga: Kota Kupang nyaris lumpuh, sejumlah ruas jalan tertutup pohon tumbang
Baca juga: Kapal ASDP Kupang yang baru diresmikan tenggelam di Bolok
Pewarta: Bernadus Tokan*Riza Fahriza
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021