"Dalam nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dan Malaysia yang akan ditandatangani nanti perlu juga dimasukan jaminan agar pembantu Indonesia tidak lari. Apalagi majikan Malaysia perlu mengeluarkan uang Rp15 juta sampai Rp20 juta untuk mendapatkan pembantu," kata Da`i, Kamis.
Da`i Bachtiar mengatakan hal itu dalam seminar bertajuk "Migrasi, Keadilan Sosial dan Tantangan Pembangunan" yang diselenggarakan kerja sama antara Universitas Indonesia dan Universitas Kebangsaan Malaysia, di kampus Universitas Kebangsaan Malaysia, Kajang, Selangor,
"Ada juga pembantu Indonesia yang kabur dari majikan dengan berbagai alasan. Kekhawatiran itu makin meningkat setelah Indonesia - Malaysia sepakat bahwa paspor dipegang pekerja dan pembantu dapat libur satu hari per minggu. Oleh karena itu, MoU harus juga memberikan jaminan kepada majikan agar pembantunya tidak lari," katanya.
Dalam seminar tiga hari itu menampilkan pembicara di antaranya Dubes RI untuk Malaysia Da`i Bachtiar, pejabat imigrasi Malaysia Shahul Hamid, dan Prof Dr Kamal Halili Hassan.
Oleh sebab itu, biaya rekrutmen dan penempatan pembantu di Malaysia janganlah terlalu mahal yang mengakibatkan potongan gaji pembantu terjadi hingga bertahun-tahun. "PJTKI dan agensi Malaysia jangan terlalu mengambil untung dari biaya rekrutmen dan penempatan," katanya.
Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa tuntutan Indonesia agar paspor dipegang pekerja didasarkan karena kelalaian aparat penegak hukum Malaysia.
"Indonesia setuju paspor dipegang majikan dan pekerja diberikan kartu pekerja tapi kenyataannya polisi dan Rela tidak mau menerima kartu pekerja, mereka hanya mau kan paspor. Oleh sebab itu, kami menuntut agar paspor kembali dipegang pekerja dan warga Indonesia," ujar dia.
"Paspor dipegang pekerja adalah bagian dari hak warga negara karena itu adalah identitas dari seorang warga negara," tambah dia. (A029/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010