Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mesti memprioritaskan transportasi massal, bukan jalan tol karena selain lebih efektif bagi penataan jaringan transportasi nasional, juga membutuhkan lahan jauh lebih kecil.
"Evaluasi Tol Trans Jawa mestinya beralih ke transportasi massal. Karena, bagaimana pun dampak pembangunan tol dan penghematan energi dalam rangka `global warming`, transportasi massal adalah jawabannya bukan tol," kata analis Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno di Jakarta, Kamis.
Kementerian Pekerjaan Umum telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) PU Nomor 06/PRT/M/2010 tentang Pedoman Evaluasi Penerusan Pengusahaan Jalan Tol.
Sasaran evaluasi selama sembilan bulan ke depan adalah 24 ruas jalan tol dan sebagian besar adalah bagian dari Tol Trans Jawa.
Hal itu sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden (Perpres) No13/2010 yang merupakan penyempurnaan Perpres No 67 tentang kerjasama pemerintah dan badan usaha dalam pembangunan dan atau pengelolaan infrastruktur.
Menurut Djoko, langkah percepatan penyelesaian Tol Trans Jawa tidak tepat karena pembebasan lahan untuk tol berpengaruh pada daya rusak lingkungan.
"Daerah tangkapan air dan subur untuk pertanian padi di Jawa, ribuan ha terancam. Sesudah tol terbangun, sudah pasti di kanan-kirinya pembangunan berupa real estate akan tumbuh subur yang berarti mengancam tata ruang dan lingkungan secara massif," katanya.
Dia juga menyebutkan, kebutuhan lahan pembangunan jalan tol di Indonesia 10 kali lipat lebih besar, dibandingkan dengan pembangunan jaringan rel yang relatif membutuhkan lahan lebih sempit.
"Sebagai pembanding saja, kalau dihitung-hitung ruas tol Kanci-Pejagan sepanjang 35 km menghabiskan 7 juta m3 tanah tambahan. Sementara kalau pemerintah niat bangun rel Cirebon-Brebes sepanjang 65 km hanya butuh 800.000 m3 tanah tambahan," katanya.(*)
E008/AR09
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010