Jakarta, (ANTARA News) - Dewan Pers peduli terhadap persoalan pemberitaan di media siaran, namun khusus tayangan video asusila jangan sampai menjadi masalah bagi pers, kata Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, di Jakarta, Kamis.
"Dewan pers concern terhadap Undang-Undang (UU) Pers dan kode etik jurnalistik. Namun, soal pemberitaan video Panas selama masih dalam koridor, maka harus di hargai. Bagi Dewan Pers esensinya adalah kebebasan pers, dan jangan sampai hal ini malah menjadi masalah buat pers," ujarnya dalam diskusi "Kolonisasi Ruang Publik oleh Urusan Privat: Ketika Tayangan Video Cabul Membanjiri Ruang Media" di Gedung Dewan Pers.
Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) itu, pers harus menjaga koridor UU Pers dan kode etik jurnalistik dalam hal memberitakan soal video asusila.
Hal tersebut, menurut dia, saat ini sudah tidak ada lagi yang benar-benar menjadi ruang privat karena sudah bercampur dengan kepentingan publik, dan pada kondisi ini berkaitan dengan pemberitaan video asusila diharapkan agar pers jangan terdorong untuk menjadikan bad news is a good news.
Pers, dalam pandangannya, harus menyajikan yang namanya good news is a good news atau ada unsur news-worthy (berita layak siar) bagi kepentingan publik.
Sementara itu, Effendy Choirie selaku anggota Komisi I DPR RI menilai, persoalan terkait video asusila dapat digambarkan pelaku yang berbuat asusila dalam rekaman memiliki tanggung jawab secara pribadi terhadap Tuhan, yang merupakan ruang privat.
Tetapi, ia menimpali, ketika rekaman itu menyebar melalui media berteknologi gelombang frekuensi yang merupakan ruang publik, maka implikasinya akan luar biasa besar dan konsekuensinya akan lebih besar karena ada konsekuensi yang ditanggung penyebar dan juga publik.
"Inilah yang menjadi persoalan publik, sehingga apa yang harus DPR lakukan menanggapi hal ini adalah mempertanyakan apakah UU ITE, dan UU Pornografi cukup memadai persoalan itu," ujarnya. UU ITE yang dimaksudnya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ia pun menegaskan, "Sebenarnya sudah selesaikah kita membahas soal publik, dan apakah sama public figure itu dengan publik dalam hal aspek- aspek privatnya? Karena, kalau sudah menjadi seorang public figure seseorang harus jadi contoh dan tuntunan."
Effendi menimpali, "Dan, inilah menurut saya banyak hal yang tidak jelas. Menanggapi persoalan ini saya fokus pada persoalan penggunaan radio frekuensi yang digunakan untuk menyebarkan video itu, yaitu frekwensi dalam konteks bukan hanya penyiarannya, tapi telekomunikasinya."
Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut mengemukakan, persoalannya apakah cukup UU yang ada juga memadai, karena kapan dan siapa saja bisa melakukan hal itu memang dapat terkena UU ITE.
"Ada 11 hal mengenai hal itu, tapi bagaimana ketika menyabar? Apakah polisi langsung menangkap pelakunya? Dan, dalam hal ini dimanakah letak tanggung jawabnya, karena ternyata UU ITE itu tidak cukup memadai di mana orang yang menggunakkan media teknologi itu, dan provider komunikasi itu tidak memiliki tanggung jawab apapun."
Dalam forum yang sama, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dadang Rahmat Hidayat menilai, pasca-dikeluarkannya surat peringatan Oleh KPI, media penyiaran kini sangat berubah dan tidak lagi mencuplik gambar videonya, tetapi narasinya masih ada yang belum dipatuhi.
"Kami menegur dalam tujuh hal, tapi kenapa yg ditekankan justru video cabulnya itu? Padahal, masih ada persoalan yang lain terkait penyiaran," ujarnya.
Ia pun mempertanyakan terminologi "kepentingan publik dan pribadi" itu sendiri, serta apakah kepentingan privat berguna bagi kepentingan publik, khususnya dalam pemberitaan pers.
Sedangkan, Nezar Patria selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkapkan soal peredaran video asusila sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, karena sekitar tahun 1970an ada kasus yang memuat berita atau feature yang mengekspos pornografi dengan gamblang yang jika dibaca bisa membangkitkan birahi dan ada juga fenomena organisasi seks bebas (oreksas).
Ia membandingkan antara kasus video asusila yang melibatkan mantan anggota DPR berinisial YZ dengan artis ME beredar dua bulan setelah dikirimkan melalui mailing list, sedangkan kasus video asusila yang sekarang diributkan hanya dalam waktu satu kali 24 jam sudah menyebar luas.
Nezar, yang aktif di media online www.vivanes.com, tidak setuju apabila kasus ini tidak ditulis, dan mencontohkan perbedaan kompetensi pemberitaan dengan media asing, di mana pemberitaannya lebih proporsional.
"Kalau kita lihat New York Times, soal kasus ini pemberitaannya justru melihat 10 tahun kebelakang dan membandingkan bagaimana kebebasan berpendapat di Indonesia," ujar Nezar.
Terkait pemberitaan video asusila belakangan ini, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan bahwa ada lima hal besar yang perlu menjadi pembahasan lebih lanjut, yaitu adanya kolonisasi ruang publik oleh urusan privat, pelanggaran kode etik jurnalistik.
Selain itu, kata Agus, risiko politik menyangkut pengesahan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia, empati media dan masyarakat yang majemuk, dan pemberitaan video asusila mengalahkan berbagai isu publik lainnya.
"Dalam persoalan ini, yang paling bahaya adalah kolonisasi oleh ruang privat itu digunakan ruang publik, dan kepentingan publik itu digunakan untuk mengatur urusan privat," kata Agus.
Kasus terakhir, menurut dia, masalah perseturuan Ariel dengan pihak Trans TV yang awaknya merasa kameranya dirusak Ariel saat meliput di Markas Besar Kepolisian Negara RI (Mabes Polri).
Dalam hal tersebut, Agus mengemukakan, Dewan pers siap melakukan mediasi, dan kasusnya berkaitan dengan etika pers sehingga bisa di selesaikan di Dewan pers, tanpa perlu di bawa ke ranah hukum.
(T.Yud/P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010